Saling Mencinta Diatur oleh Negara, Apakah Bisa?

- Advertisement - Pfrasa_F
Sekretaris Litbang. Kamerawan: Rafifa Luqyana Kesuma

Penulis: Annisa Dinda Adityana

Cinta adalah anugerah dari Tuhan. Setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai. Cinta juga merupakan bentuk emosi dari kasih sayang dan ketertarikan pribadi yang membentuk sebuah aksi terhadap objek lain berupa pengorbanan, perjuangan, empati, perhatian, kepedulian dan mau melakukan apa yang diinginkan objek tersebut. Cinta juga tumbuh dari hati tanpa bisa dipaksakaan pihak lain. Lalu, apakah bisa cinta diatur oleh ‘Mereka’?

19 Februari 2020, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan bahwa, “Orang kaya menikahi orang miskin”. Tentu, hal tersebut mengundang banyak komentar dari masyarakat. Bagaimana tidak? Cinta yang tidak bisa dipaksa harus diatur oleh negara.

Namun, setelah isu ini mencuat ke publik dan menuai pro-kontra, Muhajir pun berkelakar bahwa itu hanya usulan saja, seperti yang dilansir oleh www.kompas.tv. “Fatwa itu apa toh? Fatwa itu artinya memberi saran, menganjurkan jadi jangan dipahami ‘wah harus wajib’. Ya silakan saja selama itu dianggap serius, namun bukan wajib,” kata Muhadjir.

Dalam ajaran Islam, hal utama yang dianjurkan dalam memilih jodoh adalah dia yang baik agamanya, kedua adalah parasnya, keturunannya dan yang terakhir ialah hartanya. Bukan dimulai dari seberapa banyak hartanya, melainkan sebaik apa agamanya sehingga mampu menjadi pasangan yang berkah hingga akhirat. Dengan begitu, apakah pemerintah sudah kehabisan solusi dalam memberantas kemiskinan di negeri ini?
Salah satu faktor perceraian tinggi adalah karena ekonomi. Tapi, apakah pantas jika memaksa dua insan untuk saling mencinta karena faktor ekonomi mereka? Apakah solusi tersebut bisa menjadi salah satu cara yang logis? Dan apa hanya karena kesetaraan menjadikan pernikahan antara orang miskin dengan orang miskin akan menimbulkan kemiskinan yang baru?

Dewasa ini, negara kian memasuki ranah pribadi seseorang. Hal ini bukan berarti menjadikan masyarakat menolak perubahan. Hanya saja negara salah ruang, hukum pun demikian akan menjadi salah tujuan. Karena hukum diciptakan untuk ketertiban dan kedamaian bukan untuk membatasi manusia apalagi dalam hal kepribadiannya.

Ketahanan keluarga menjadi syarat sensitif akan hak asasi manusia (HAM), satu di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tidak menjadi lis dalam suatu ketahanan keluarga. Hal tersebut menjadi koreksi bagi anggota DPR karena keruntuhan rumah tangga juga disebabkan oleh KDRT.

Warga Indonesia yang terkenal gemar membicarakan urusan orang lain semakin terasa dengan adanya fatwa yang akan berlaku atau tidak ini. Jika ada sebuah pertengkaran sepasang suami istri mereka tidak akan berani untuk mencampuri urusannya, namun ketika seorang suami orang lain yang jarang pulang dan kembali larut malam menjadi sebuah perbincangan. Padahal, hal-hal tersebut tidak semestinya menjadi urusan mereka. Semakin terlihat jelas, bukan? Bahwa negara adalah cerminan perilaku warganya.

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles