Tangis Dan Tawa Itu Sepasang, Hidup Dan Mati Juga Sepasang

- Advertisement - Pfrasa_F
Foto : Google
Foto : Google

Oleh : Wanur Khadillah*

“Hidup adalah sebuah anugerah yang telah Allah berikakan kepada kita selaku hamba-Nya. Tetapi kita juga tidak akan pernah tau kapan Sang Rabb akan mengambilnya kembali”.

Aku meringis pedih tatkala Yani teman kelasku kehilangan sosok ayah yang sangat dia sayangi. Penyakit yang bersarang didalam raga ayahnya berhasil menggurkan sedikit dosa ayah Yani semasa hidup, namun dengan imbalan nyawa ayah Yani pun jadi gantinya. Yah, itulah kehendak sang Ilahi Rabby. Tanpa kita sadari malaikat Izrail mengintai dan dengan sabar menunggu perintah-Nya untuk mengambil nyawa kontrakan ini kembali kepemilik-Nya.

Rutinitas Senin pagi saya awali dengan berangkat mengajar. Seperti biasa, saya mengajar tanpa ada rasa risau atau gelisah. Semua berjalan seperti senin yang telah lalu (ribet, penat, banyak jadwal, dan lain-lain). Ketika sudah berada didalam kelas untuk mengajar, terdengar suara telepon genggam berdering, “kriiiing….kriiiing…kriiing”. Sontak saya mengambil telepon itu dari dalam tas ransel yang biasa yang bawa kemana-mana. “Ternyata Aisyah, ada apa ya?, kok tumben nelepon” tuturku dalam hati. Kemudian aku pun mengangkat telepon tersebut,

“Ya Aish, kenapa?” sambutku mengawali percakapan

“Bele, kau belum baca sms dariku? jawabnya gelisah.

“Sms mana? Belum ada. Emangnya ada apa kok  gelisah banget nampaknya,” sambungku

“Emang ya, ayah si Yani meninggal tadi pagi.” Tegasnya

“Hah ! innalillahiwainnailaihiroji’’uuun, kapan wak? Kagetku

“Tadi pagi. kau pun aku sms gak ada jawaban. Ya sudah, sekarang kita berangkat kerumahnya. Kau izin aja dari sekolah.” Kata Aisyah

“Iya…iya kita jumpa di tempat biasa ya.” Jawabku

Tanpa basa-basi panjang, saya menutup telepon itu dan langsung berkemas sekaligus meminta izin kepada guru piket pada hari itu dan menuju ke tempat dimana saya dan Aisyah janjian. Sesampainya ditempat janjian itu, Aisyahlah pertama sekali menghampiri saya dan tanpa iming-iming lainnya, kami pun langsung menuju ke rumah duka.

Rumah yang biasanya penuh dengan candaan tawa para peminum kopi yang singgah di warung ibunya Yani, kini ramai dengan orang yang memakai hijab dan kopiah para pentakjiah. Masih dalam keadaan ‘shok’, rasa tidak percaya masih menggandrungi pikiran saya. Tetapi semua itu terpatahkan karena adanya bendera merah yang melambai di depan rumahnya. Perlahan langkah kaki ini menghantarkan saya dan Aisyah ke depan pintu rumah Yani. Karena terlalu ramainya para pentakjiah, kami sempat bingung mau duduk dimana  hingga akhirnya Yanilah yang menghampiri kami.

Dengan mata yang sembab, baju yang sederhana, dan kepribadian yang tidak biasanya dari dirinya sehari-hari, yani langsung memeluk Aisyah sambil menitihkan air mata.  “aku sudah gak punya ayah lagi Aish…..” tangis Yani dalam pelukan Aisyah. Mataku langsung tertuju pada Yani yang berkata sambil penuh duka. Lalu kami duduk di warung kopi yang tepat berada disebelah rumahnya. Selepas para ibu pengajian sekitar rumah Yani membacakan lantunan ayat suci dan doa untuk almarhum ayah Yani, giliran kamilah yang masuk dan menyaksikan kesedihan Yani dan juga keluarganya.

Sesosok jenazah yang menjadi tulang punggung dari keluarga Yani telah membujur kaku. Bagaimana jika hal ini terjadi pada? Bagaimana jika aku berada di posisi Yani saat ini?” itulah yang saat itu saya pikirkan ketika melihat jenazah ayah Yani yang saat itu tepat berada di depan mata kepala saya. Hanya berlapis sehelai kain panjang dan selendang putih yang menutupi raut wajah yang gagah.

Dan tibalah saatnya untuk menunaikan fardu kifayah yang pertama yaitu memandikan jenazah. Masih jelas tergambar dalam benak ini proses pengangkatan jenazah ayah Yani. Hal itu membuat jantung saya serasa berhenti seketika. Tidak sanggup rasanya jika itu memang ayahku. Selang beberapa menit, fardu kifayah yang ke dua pun dilaksanakan, mengkafani jenazah. Tidak membutuhkan waktu lama, pengkafanan pun selesai. Ada istilah ziarah terakhir dari para sanak keluarga kepada almarhum. Haru pikuk menghiasi rumah Yani detik itu juga.

Dengan sangat terkejut saya mendengar tangisan histeris dari tantenya Yani yang tak lain adalah kakak dari almarhum ayah Yani. Linangan air mata berlimpah di wajah para sanak saudara dan para pentakjiah. Bahkan saya, Aisyah dan teman-teman yang lain yang baru datang pun ikut terbawa kedalam suasana haru itu. Rasa sedih itu sudah tak terbendung lagi. Apalagi ketika mendengar perkataan Yani yang mungkin tidak iya sadari. “kenapa ayah ninggalin kami yah?..” itulah yang terdengar jelas.

Lepas dari suasana yang membuat saya merinding disko itu, berlanjutlah fardu kifayah yang ke tiga, menyolatkan jenazah. Setelah itu, fardu kifayah yang terakhir yaitu mengebumikan jenazah. Pada saat jenazah akan diberangkatkan, suasana haru itu kembali menyelimuti.

Rumah Yani menjadi sepi, para kerabat ikut ke kuburan untuk menghantarkan almarhum ke tempat peristirahatan terakhir.  Yani pun kembali dari kuburan, teman SMA dan teman satu kelas di kuliah semua datang. Suasana yang awalnya banyak tangisan kembali menjadi riang karna kehadiran sahabat-sahabat Yani. Sebut saja Arbi, dia adalah salah satu sahabat Yani di SMA. Karna tingkahnya yang jenaka, semua masalah berubah menjadi gembira. Sampai pada akhirnya saya menarik kesimpulan ada hidup ada mati, ada derita ada pula bahagia, ada tangis sudah pasti juga bahagia. Semua itu adalah ujian dari yang Maha kuasa karena itu adalah hukum alam yang sudah di takdirkan oleh Sang Ilahi Rabby.

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles