Ku Putuskan Dia

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrasi : Nanda Ariesta

Penulis: Shofiatul Husna Lubis

Mata itu, aku melihatnya lagi. Pria dengan kulit sawo matang dan berkacamata itu terus memandangiku dari kejauhan. Aku sengaja mengalihkan pandanganku dan bersembunyi di balik tubuh Zya teman karibku. Pria itu terlihat biasa, bahkan sangat sederhana. Namun, sikap dan sifatnya yang membuatku sempat menyukainya.

“Kalian cuma berdua?” sapanya sesampainya di meja kami.

“Iya, gabung sini dong kak,” ajak Zya. Mendengar ucapan itu aku langsung menyikutnya.

Gak usah deh, kakak bareng teman-teman kakak aja,” katanya dan langsung pergi.

“Kamu kenapa sih, Al? Berantem lagi ya?” tanya Zya.

“Enggak, cuma males bicara aja, udah ah, yuk kita makan,” kataku dengan cepat.

***

Aku mengamati jarum jam yang melingkar di pergelangan tanganku sambil menanti Zya. Hampir 30 menit aku berdiri di depan rumahnya tanpa kepastian, berulang kali ku telpon tak ada jawaban. Akhirnya ku putuskan untuk pergi.

Ketika sampai di kelas, aku melihat Zya dan kak Ali datang bersaman, dari sudut matanya aku melihat dia begitu cemas. Saat melewatiku tak sedikitpun dia melirikku.

“Kamu kenapa, Zy?” tanyaku mendekat.

“Nanti saja Al, biarkan Zya istirahat dulu,” kata kak Ali tanpa menolehku.

Aku mengangguk pelan dan memilih diam. Namun sejak pertemuan itu aku tak pernah lagi bicara atau sekedar menyapa Zya. Banyak perubahan yang terjadi padanya, bahkan dia sering   menolak setiap kali aku mengajaknya makan di tempat favorit kami, hingga akhirnya aku memilih untuk tidak mendekatinya sementara waktu.

“Al, kamu udah tahu belum kak Ali pacaran sama teman kamu?” Tanya Tika ketika aku sedang asyik menendang-nendang kerikil di depan gerbang.

“Siapa?” tanyaku.

“Zya, Al.” jawabnya.

“Deg” jantungku seolah berdetak dengan cepat dan aliran darahku berhenti sesaat. Aku bungkam dan terkejut dengan jawaban terakhir itu “Akhirnya aku tahu kenapa dia menjauhiku” pikirku. Perasaanku menjadi kacau, aku ingin marah dan kecewa dengan keadaan ini “Kenapa mereka menyembunyikan ini dariku? Kenapa?” tanyaku dalam hati.

Aku menangis sejadi-jadinya di taman yang berada cukup jauh dari kampusku, tak ada seorang pun disana. Entah bagaimana perasaanku, antara sedih dan kecewa seolah bercampur aduk. Aku tak tahu apakah sedih karena kak Ali mulai menjauhiku, atau kecewa saat tahu pacarnya adalah sahabatku. Aku bingung dengan hati dan prinsipku yang tak sejalan, aku sadar dan kini terluka.

“Aku benci kamu, aku benci karena aku juga menyayangimu,” teriakku pelan.

“Jadi, kamu juga menyayangi kak, Al?” suara kak Ali dari belakang, aku spontan diam dan dia mulai berjalan ke arahku.

“Kenapa kamu gak  bilang,  Al? Kamu harusnya tahu kakak sayang kamu, bukan Zya,” ucapnya lembut.

“Lalu kenapa kakak pacaran dengannya? Aliya gak  tahu dengan perasaan Aliya, setelah kakak menjauh, Aliya sadar ternyata perasaan kita sama,” ucapku sambil menangis.

“Maafkan kakak Al, kakak tidak ingin kamu jauh, mungkin dengan ini kakak bisa dekat lagi denganmu,” katanya menatapku.

“Enggak kak, harusnya Aliya bahagia karena ini permintaan Aliya. Sekarang kakak harus sayangi dia,” ucapku berat.

“Kakak akan putuskan dia,” katanya pelan.

“Jangan, jangan lakukan itu, kakak harus tetap bersamanya seperti permintaan Aliya,” kali ini aku menghapus bulir bening air mataku.

***

Hari terus berlalu, hubunganku dengan pria bertubuh tinggi yang kini menjadi pacar sahabatku tetap seperti dulu, hanya saja ada sedikit jarak di antara kami. Begitu pula hubunganku dengan Zya, meskipun kak Ali sudah memiliki Zya, dia masih mengajakku ke rumah singgah untuk membagi makanan kepada anak-anak jalanan yang dianggapnya adik. Itu adalah salah satu agendanya setiap minggu. Dia juga selalu mengantarkanku pulang setelah mengantarkan Zya. Aku tahu ini salah, tapi aku juga tidak bisa menahan diriku yang ingin terus bersamanya. Hingga suatu hari  Zya mulai tidak nyaman dengan sikap kak Ali yang terus membicarakanku di depannya.

“Aku benci dia,” ujar Zya ketika kami di restoran biasa.

“Siapa, Zy?” tanyaku tanpa menoleh.

“Abang kesayanganmu, setiap kali kami chat-ingan dia selalu membicarakanmu,” keluh Zya.

“Yaudah, nanti aku coba bicara sama dia.” Ucapku untuk menenangkannya.

Seminggu kemudian, aku tak pernah lagi melihat kak Ali mengantarkan Zya sampai di depan kelas. Hal ini membuatku bertanya-tanya dan berusaha mencari tahu.

“Kamu kok sendiri? Mana kak Al?” tanyaku ketika dia muncul dari balik pintu kelas.

“Kita udah putus,” jawabnya singkat. Aku terkejut dan menatapnya lekat.

“Serius? Kok bisa?” Dia hanya mengangkat bahu dan berlalu pergi tanpa suara.

Sore ini aku memilih untuk mencari kak Ali ke rumah singgah, banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya. Ketika aku sampai, tak seorangpun yang terlihat di luar. Karena penasaran akhirnya aku masuk menuju daun pintu. Belum sempat aku mendekat, tiba-tiba pintu terbuka dan kak Ali sudah berdiri di depanku dengan menggenggam bunga. Dia mulai mendekat dan menghadiahiku sebuah kalung  dengan ukiran  “AA” di leherku, lalu berbisik pelan,

“Maukah kamu menjadi pacar kakak?” tanyanya pelan namun terdengar jelas di telingaku. Sesaat aku menghela napas, “Kakak baru putus, gak seharusnya kakak seperti ini,” kataku. “Kami putus udah seminggu, sekarang biarkan kita menjalin hubungan yang tertunda,” ujarnya.

“Tidak semudah itu kak, Zya itu sahabat Aliya, Aliya tidak ingin mengkhianati dia,” kataku. Sesaat ku lihat wajahnya menunduk dan mencoba menarik garis senyum dibibirnya. Namun, beberapa detik kemudian, aku merasa aku tak bisa membohongi perasaanku, langsung saja aku mengambil bunga itu dari tangannya sambil mengangguk pelan.

Aku masih terus menutupi hubungan baruku dari Zya, rasa bersalah pun terus menghantuiku. Lambat laun akhirnya semua itu terbongkar dan Zya mulai membenciku. Beberapa kali ku coba jelaskan namun tak juga dihiraukan. Semakin hari, semakin banyak goresan luka yang menyayat hatiku, dan aku mulai sadar bahwa ini kesalahanku.

“Kamu kenapa Al? Kenapa kamu jauhi kakak?” tanyanya ketika kami berada di perpustakaan.

“Sepertinya kita harus mengakhiri hubungan ini kak, Aliya tidak ingin kehilangan Zya.”

“Maaf..kita harus mengakhiri hubungan ini kak,” ucapku berat.

Ku raih tangannya dan menghempaskan kalung pemberiannya. Kemudian berlalu pergi. Dengan air mata yang perlahan tumpah, ku berlari mencari Zya di belakang kelas.

“Maafkan aku Zy, aku tidak ingin kehilanganmu,” kataku setelah berhasil menemukannya.

“Aku sudah putuskan kak Al demi persahabatan kita,” sambungku.

“Sudahlah  AI, aku juga salah, tidak seharusnya aku membencimu karena dia, sekarang aku ingin kita seperti dulu,” katanya dan langsung memelukku.

Editor : Maya Riski

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles