Hujan dan Air Mataku

- Advertisement - Pfrasa_F
Foto: www.dairyhijaber.com

Penulis: Lilis Darmila

Aku, aku dan aku. Ya, Aku selalu menyebut-nyebut diriku, mendeskripsikan diriku sendiri bersama diriku sendiri. Aku adalah gadis remaja yang baru menginjak usia 17 tahun. Seharusnya Aku duduk dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA), tetapi karena sakit yang kuidap, mengharuskanku untuk tetap berada di dalam rumah, dengan bertemankan mama, ayah, saudara perempuan, dan binatang peliharaanku yang sangat lucu yang kusebut catty. Kucing cantikku dengan bulu putih yang menyelimuti tubuhnya, membuat Aku nyaman saat memeluknya.

“Nisa..Nisa….” panggilan lembut sambil menggoyangkan lenganku terdengar dari atas telinga, mama membangunkanku dari tidurku.

Mama menyuruhku untuk bersiap-siap, karena kami ingin cekup ke Rumah Sakit Cinta Bunda. Hal rutin yang kami lakukan setiap seminggu sekali tepatnya Senin pagi pukul 09.00 WIB. Aku, Mama dan Ayah memasuki mobil, sedang saudara perempuanku tidak ikut, karena harus kuliah.

Setibanya di depan rumah sakit, mama menuntunku untuk keluar dari mobil dan masuk ke rumah sakit. Seperti biasa, Aku ditanya bagaimana perkembangan mataku yang semakin tidak melihat apapun, bahkan aku selalu teriak kesakitan disebabkan kanker mata yang kuidap yang sudah stadium empat. Selesai berbincang-bincang dengan dokter, kami kembali ke mobil menuju rumah. Di depan pintu rumah sakit, tiba-tiba angin bertiup, seperti angin yang sering kurasakan saat di halaman belakang, dan tik..tik.. satu percikan air menyentuh wajahku, Aku tersenyum, karena dari dulu Aku sangat ingin menyentuh derasnya air hujan, dan merasakan dinginnya air hujan tersebut. Tetapi mama malah menyuruhku untuk cepat masuk ke dalam mobil.

Tepat pukul 12.00 WIB kami sampai di rumah, saudara perempuanku sudah pulang dari kampus, kakakku menuntunku untuk masuk ke dalam kamar.

“Kak,” kupanggil kakakku dengan lemah lembut.

“Iya dik, ada apa?” Jawabnya sambil duduk di sampingku.

“Kak, gimana sih rasanya menyentuh air hujan, dan keindahan air hujan itu kak? Adik ingin sekali menyentuh dan melihatnya, Adik belum pernah menyentuh dan melihatnya kak,” tanyaku dengan rasa harap yang tinggi.

“Dik, kamu mau tahu rasanya menyentuh air hujan, jika Adik merintih kesakitan dan jika Adek mengeluarkan air mata, Adik rasakan air mata itu, dan bayangkan itu adalah air hujan yang turun dari langit,” jawab kakakku dengan nada yang kurasa agak bercanda.

Tetapi walau begitu setiap kali aku menangis kesakitan, aku selalu terdiam sejenak dan menampung air mataku yang jatuh dari pipiku, tiap tetesan yang keluar kubayangkan seperti air hujan. Walau aku membayangkan itu air hujan, tapi tetap saja itu bukanlah air hujan yang aku inginkan.

Hingga sore itu tiba, kira-kira selesai azan Ashar, seperti biasa aku duduk di halaman belakang rumahku menikmati segarnya luar rumah, mamaku sedang memasak di dapur, ayah pergi ke kantor, sedang kakak masih berada di kampus, saat itu aku tak henti berdoa agar hujan itu turun. Tak lama angin pun mulai bertiup, aku merasakan bahwa angin itu adalah pertanda akan turunnya hujan, aku mulai tersenyum lebar, kutadahkan wajahku ke atas seakan tak sabar hujan itu untuk segera turun. Tak menunggu lama hanya kira-kira berselang satu menit, hujan itu langsung menjatuhi wajahku dan bahkan seluruh tubuhku, senyumku semakin melebar, rasa senang sangat tak terhingga, aku ingin itu bisa lebih lama, air mataku juga keluar pada saat bersamaan dengan air hujan itu. Saat itulah aku merasakan perbedaan air mataku dengan air hujan.

Kira-kira hanya 5 menit aku merasakan air hujan itu. Ibuku langsung mendorong kursi rodaku, membuatku terkejut. Mama ternyata lupa kalau Aku berada di halaman belakang rumah, yang Mama kira aku berada di dalam kamarku. Mama sangat menyesal dan meminta maaf kepadaku, karena aku tidak boleh terkena hujan, dengan alasan kesehatan yang semakin memburuk. Walau seperti itu, aku sangat bersyukur karena bisa merasakan air hujan yang ternyata sangat membuatku bahagia.

Setelah peristiwa itu, Mama dan seluruh keluargaku lebih ekstra dalam menjagaku, mereka selalu menemaniku secara bergantian, agar aku tak sendiri lagi. Dan semenjak itu pula aku selalu bersyukur kepada Allah, karena telah memberiku kesempatan untuk merasakan tetesan hujan, dan memberikan perbedaan antara air hujan dengan air mata.

Editor             : Nurul Farhana Marpaung

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles