Bertafakur Dengan Slogan-Slogan Anti Kotor

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrasi : Muammar Siddik Utomo

Oleh: Iin Prasetyo

“Kebersihan adalah sebagian dari iman”

“Jangan buang sampah di sini (sungai)!”

“Bersih itu sehat”

“Buanglah sampah pada tempatnya!”

“Jagalah kebersihan!”

Pernahkah kita menafakurkan beberapa slogan kenamaan di atas?.

Begitu banyaknya deret kata membentuk frasa dan kalimat yang singkat, unik, ideologis, persuasif, dan mudah diingat sehingga disebutlah slogan. Slogan-slogan anti-kotor tersebut menjadi malaikat yang mengarahkan kita untuk tidak melakukan hal yang kontra dari makna slogan itu sendiri. Dimana dan apapun aktivitas kita selalu dijeriti oleh slogan anti-kotor itu.

Tentu, kita menghendaki diri kita sebagai pribadi yang bersih, bersih jiwanya, bersih hatinya, dan bersih lingkungannya. Kadang, kehendak tersebut hanya sekadarnya kita implementasikan. Ibaratnya, kita ingin bersih, kebersihan kita hanya sebatas mandi dan sikat gigi. Padahal kebersihan tidak sesederhana itu.

“Kebersihan adalah sebagian daripada iman”. Semua agama tentu memiliki iman yang berbeda namun, kalau bicara tentang kebersihan semua agama menghendaki kebersihan adalah bagian dari kesucian agama itu sendiri. Apakah ada agama yang bersemboyan “Buanglah sampah dimana saja semaumu, hidup ini suka-suka”?.

Pun, kalau sudah tertera di satu pamflet misalnya di tepi sungai yang bertuliskan “Jangan buang sampah di sini!” sepertinya bahasa tersebut masih santun dibaca dan direnungi, selayaknya pamflet itu sebagai angkatan bersenjata yang bilamana ada musuh menyerang diri kita. Coba kita bayangkan slogan tepi sungai itu diubah menjadi “Yang buang sampah di sini, orang gila” atau bisa saja dituliskan nama hewan yang tak sepatutnya menjadi slogan.

Kalau kita jeli betul saat membeli makanan kemasan pasti selalu ada ikon tong sampah, lalu ditulislah kata-kata “Bersih itu sehat”, “Buanglah sampah pada tempatnya!”, atau “Jagalah kebersihan!”. Slogan-slogan itu tercantum di bingkisan makanan bukan tanpa maksud. Kalimatnya yang bagus, beretika, dan dalam koridor manusiawi. Bisa saja kalimat-kalimat itu diganti menjadi: “Bersih itu sehat, kotor itu setan”, “Buang sampah pada tempatnya atau sekalian telan”, “Biarkan sampah ini berserak dan akan membawamu ke neraka” tentu tidak harus seperti ini dulu kalimatnya agar kita memaksakan diri untuk berbuat hal yang diserukan dalam slogan tersebut.

Menafakurkan banyaknya slogan-slogan anti-kotor itu bukanlah menunjukkan manusia ini kaya akan kreativitas retorika. Tetapi, karena bandelnya kita karena tidak mengindahkan satu slogan sehingga ada slogan lain dan lainnya lagi yang bertujuan untuk memberi efek jera yang manusiawi. Namun, slogan tinggallah slogan, sampah masih belum teratasi, penyakit terus berjangkit, polusi udara dan suara, kemacetan dan emosi menjadi karakter sebagian besar manusia.

Tentunya masalah kebersihan ini juga tidak mengkambinghitamkan warga yang bandel, pemerintah sebagai fasilitator harus mampu mengatasinya. Lansiran dari Analisadaily.com bahwa, saat ini Kota Medan praktis cuma punya satu TPA di Jalan Paluh Nibung Kelurahan Terjun, Medan Marelan. Namun, volume sampah disana diperkirakan hanya mampu menampung selama satu tahun lagi. Sehingga perlu, dilakukan perluasan lahan walaupun ada rencana aktivasi TPA Namobintang di Kecamatan Medan Tuntungan.

Dari lansiran Metro-online.co bahwa sejumlah sampah tidak diangkut pekerja Dinas Kebersihan Pemko Medan di Jalan AR Hakim Gg. Pendidikan dan Jalan Menteng II Gg. Delikey. Sampah terlihat menumpuk dan berserak di jalan dan rumah warga. Begitupun masalah yang serupa terjadi di Jalan HM Jhoni, Jalan Bromo dan Jalan Denai.

Jika hukum yang bicara

Di kota-kota besar seperti Jakarta ada Perda Nomor 3 Tahun 2013, kalau buang sampah di jalan dan trotoar denda Rp. 100 ribu, buang di sungai Rp. 500 ribu. Di Cimahi punya Perda Nomor 16 Tahun 2011, selalu dipantau oleh Sat Pol PP jika ketahuan akan ditangkap dan dapat dikenakan denda Rp. 50 juta atau kurungan 3 bulan. Kalau di Depok ada namanya Tim Buru Sergap (Buser) dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok, tugasnya menangkap para pembuang sampah sembarangan untuk disidang dan dijerat tindak pidana ringan. Di Surabaya sesuai Perwali Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Kebersihan Kota, akan dikenakan sanksi administratif yaitu denda Rp. 150 ribu untuk pelaku yang membuang sampah sembarangan antara setengah sampai 1 kubik dan denda Rp. 750 ribu di atas 1 kubik.

Kota Medan sudah punya Perda baru sejak 2015 yaitu, Perda Nomor 6. Bagi pelanggarnya dikenakan denda Rp. 50 juta dan kurungan 6 bulan. Uniknya, di Kota Medan sedikit lebih kejam dari Kota Cimahi, terlihat dari hukumnya yang kembar tapi beda. Namun, kalau Kota Medan sejak berlakunya Perda tersebut telah memberi kesempatan bagi masyarakat yang mendapati orang membuang sampah sembarangan maka harus melaporkan ke aparat, dengan begitu masyarakat yang melapor akan diberi insentif, mungkin ini bentuk pendekatan pemerintah terhadap masyarakatnya agar saling mengawasi.

Larangan membuang sampah sembarangan juga telah ditetapkan hukumnya dengan adanya Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup. Bagi yang melanggar tentu ada pasal khusus sesuai porsinya, baik denda maupun kurungan.

Begitulah kalau sudah berbicara hukum. Kita harus melaksanakan kewajiban dengan ketakutan dan atau keterpaksaan. Bukankah berbeda efeknya kalau kita melaksanakan kewajiban dengan sadar dan ikhlas. Kan juga untuk diri kita sendiri, bahkan ada pahalanya langsung dari Allah swt.

Janganlah sampai hukum-hukum tersebut menjadikan kita nyaris sama dengan binatang, dipukul dulu baru gerak. Kita punya hati nurani, akal budi, dan pandai berbahasa menjadikan kita lebih sempurna dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya. Maka, berpikirlah dengan nurani dan bertindak dengan akal pikiran (yang di kepala bukan di dua lutut) sehingga anggota tubuh kita dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Begitupun, mari kita mengindahkan slogan-slogan yang indah tersebut tanpa harus mengubah kalimatnya menjadi kalimat yang tidak etis dan manusiawi. Bukankah kita tidak mau disamakan atau disebut binatang atau orang gila? Ini membuktikan bahwa kita adalah makhluk yang merasa lebih baik dari yang disebutkan. Jagalah lingkungan kita! Seperti kata pemuka agama, “Jagalah hati jangan kau nodai…” selaras maknanya dengan, “Jagalah alam jangan kau kotori”.

Editor : Putri Syakbania Dalimunthe

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles