Karena Dakwah, Perwujudan Rasa Cinta

- Advertisement - Pfrasa_F
Foto: www.google.com

Penulis: Muhammad Ifroh Hasyim

Ajaklah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. (QS. An-Nahl 16:125)

Alangkah sempurna agama Islam ini. Selain Alquran sebagai pedoman, Allah juga mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai tauladan. Agar kita sebagai penganut agama Islam, mampu melaksanakan segala perintahNya yang mencakup segala aspek kehidupan. Mulai dari yang besar hingga yang kecil, mulai dari yang dianggap berat hingga yang ringan, mulai dari yang penting hingga yang dianggap sepele. Kesemua itu adalah bukti kesempurnaan agama Islam ini.

Adapun dalam penyebarannya, tentu menghadapi berbagai macam hambatan dan halangan, dari berbagai kalangan yang tidak suka dengan agama yang diridai ini. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadi penghambat dakwah Islam, hal ini dikarenakan kebijaksanaan Nabi Muhammad Saw yang telah Allah karunikan, sebagaimana yang dikisahkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.

Suatu hari, Aisyah bertanya kepada suaminya, “Ya Rasulallah, Pernahkah kau alami hari yang lebih berat daripada ketika di Uhud?” Maka lelaki itu, Muhammad Saw bercerita, kepada sang khumairah.

“Aku mendatangi para pemimpin Thaif; ‘Abdu Yalail ibn ‘Amr, Mas’ud ibn ‘Amr, dan Hubaib ibn ‘Amr Ats Tsaqafy untuk mengajak mereka kepada Allah. Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Tirai Ka’bah tersobek jika sampai Allah mengutus seorang Rasul’, yang berikutnya berucap, ‘Apakah Tuhanmu tak punya orang lain untuk diutus?’, dan yang terakhir berujar, ‘Aku tak mau bicara denganmu. Jika kau benar-benar Rasul, aku khawatir mendustakanmu. Jika kau bukan Rasul, maka tak layak bagiku bicara dengan seorang pendusta!”

Lalu setelah tiga hari aku menyusur tiap sudut Thaif, mengetuk berbagai pintu, dan menawarkan Islam pada siapapun yang kutemui, merekapun beramai-ramai mendustakan, mengusir, dan menyakitiku.

Akupun pergi dengan kegundahan dalam hati, hingga tiba di Qarn Ats Tsa’alib. Ketika kuangkat kepalaku, maka tampaklah Jibril memanggilku dengan suara yang memenuhi ufuk. ‘Sesungguhnya’, kata Jibril, ‘Rabbmu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus Malaikat penjaga gunung ini untuk kauperintahkan sesukamu”.

Lalu malaikat penjaga gunung menimpali, “Ya Rasulallah, ya nabiyyallah, ya habiballah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung akhsyabain ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang telah ingkar, mendustakan, menista, mengusir, dan menyakitimu.

“Tidak”, jawabku, “Sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab ‘adzab. Bahkan aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak-keturunan yang mengesakanNya dan tak menyekutukanNya dengan sesuatupun”.

Mari sejenak kembali ke pertanyaan ibunda kita, Aisyah. Apa yang berat bagi kekasih Allah ini melebihi hari uhud ketika 3 cincin rantai besi menancap di pelipisnya, perangkap tajam mencocor lututnya. Dikabarkan terbunuh hingga cerai berai pengikutnya, kehilangan paman tercinta, dan 70 sahabat setianya jadi syuhada?

Hidupnya yang penuh lika-liku itu, terlalu panjang untuk memeriksa satu demi satu jawabannya. Tapi kita tahu, yang berat bagi kekasih Allah itu bukan lemparan batu, bukan kala dia ruku lalu lehernya dijerat. Bukan juga saat dia bersujud kemudian kepalanya diinjak dan punggungnya dituangi kotoran. Yang berat baginya bukanlah caci maki ataupun berbagai macam fitnahan. Bukan tuduhan gila, penyihir, atau dukun, dan bukan juga 3 tahun kefakiran dalam pemboikotan.

Tetapi yang berat bagi beliau adalah ketika diberikan ketangannya kekuasaan untuk membalas serta membinasakan orang-orang yang pernah menyakitinya. Yang berat bagi babibullah ini adalah ketika peluang pelampiasan rasa sakit yang pernah ia derita dibentangkan selebar-lebarnya.

Terujilah jiwanya, terbuktilah cinta serta kebijaksanaannya, ia adalah semulia-mulia manusia. Jawabannya adalah “tidak” ketika ditawarkan kepadanya untuk  membinasakan orang-orang yang telah menyakitinya. Akan tetapi ia berdoa, agar kelak dari keturunan orang-orang yang telah menyakitinya, akan lahir anak-anak yang akan memperjuangkan agama Islam serta mendakwahkan ayat-ayat Allah.

Alangkah bijaksana dan pedulinya Rasulullah kepada sasaran dakwahnya, bahkan ketika ia diberikan wewenang untuk membalas penganiayaan terhadap dirinya digenggamkan penuh-penuh. Hal tersebutlah yang menjadi keberatan bagi kesayangan Ar-rahman ini. Ketika dalam gemuruh sakit lahir dan batin, peluang pelampiasan dibentangkan baginya. Maka ini adalah bukti bahwa dia, ingin diutus sebagai pembawa kasih dan bukan penyebab azab. Bahwa dia berada di atas akhlak yang agung. Baik dalam akhlak pada rabbnya, akhlak pada dirinya, juga pada sahabat maupun musuhnya. Jernih sekali nabi menyebut hari terberat ketika Jibril datang menawarkan pembinasaan musuh. Itulah saat kemuliaan dakwah memenangi batin yang gemuruh.

Allah bahkan menyatakan dirinyalah rahmat bagi semesta alam. Bahwa dia datang dengan kesediaan menanggung derita ummatnya, amat menginginkan kebaikan bagi kita, dan ini menjadi salah satu bukti betapa lemah-lembutnya beliau.

Maka mari sejenak kita renungkan, apakah dakwah yang seperti itukah yang selama ini kita lakukan? Atau malah sebaliknya. Dakwah yang kita laksanakan selama ini tidak berdasarkan cinta sebagaimana yang dilakukan Rasulullah kepada ummatnya. Bahkan sampai dipenghujung hayatnya masih tetap menjadi prioritas utamanya.

Oleh karena itu, marilah kita menggali lebih dalam kebijaksanaan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, agar dakwah yang kita laksanakan selama ini berlandaskan kepada cinta. Berlandaskan belas kasih kepada sasaran dakwah, sebab tak jarang, perkataan yang kerap kita sebut dengan dakwah, malah menjadi panah yang menimbulkan benih-benih penyakit hati. Semoga Allah senantiasa membukakan hati kita, agar mampu mencontoh Rasulullah Saw. Menjadikan beliau tauladan dalam berkegiatan dan berkehidupan.

Sebab kita adalah satu-satunya ummat, yang diberikan selendang dakwah, yang memiliki kesempatan untuk meneruskan dakwah Nabi Muhammad Saw. Semoga apa yang tercurah dari lisan kita mampu menjadi penyejuk bagi hati-hati yang merindukan hidayah. Yang kesemuanya berlandaskan pada cinta kepada sesama manusia. Dengan harapan kelak mampu bersama, mencapai surgaNya. Wallahu a’lam bisshawab

Editor              : Siti Arifah Syam

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles