Salah Kaprah Kebebasan Berpendapat

- Advertisement - Pfrasa_F
(Foto/Dok. Pribadi)

Penulis: Anisa Dinda Adityana

Hidup di Indonesia tak terlepas dari kebebasan warga negaranya dalam hal berkomentar dan berpendapat. Hal ini semakin mudah dengan adanya perkembangan teknologi di era milenial sekarang. Banyaknya platform media sosial yang bermunculan, teramat sangat memudahkan siapa saja untuk beraktivitas di dunia maya. Entah mengunggah foto, video, sekilas info, atau hanya berkomentar di unggahan orang lain.

Namun, dewasa ini kebebasan berpendapat justru disalahartikan dan kemudian disalahgunakan. Terutama oleh pengguna media sosial yang biasa disebut dengan netizen, mereka kerap kali menuliskan kalimat atau ujaran kebencian yang bisa jadi melukai hati orang lain. Bahkan tidak jarang pula komentar-komentar tersebut memicu tindakan perundungan dan hal merugikan lainnya.

Selain itu, juga dapat memicu terjadinya aksi pencemaran nama baik. Bahkan sebagain dari mereka yang berkomentar sengaja membuat akun palsu. Kolom komentar yang seharusnya digunakan untuk menyalurkan pendapat apresiasi, kritik dan saran malah dijadikan sebagai wadah penebar kebencian. Hal-hal yang seperti ini yang harusnya perlu disadari.

Tidak hanya sampai di situ, munculnya fitur-fitur baru seperti fitur cerita 24 jam di berbagai media sosial, terkadang juga digunakan untuk memublikasikan sesuatu yang mengandung unsur SARA dan diragukan kebenarannya yang kemudian akan menjadi tren pembahasan. Dan hal-hal seperti inilah yang membuat semakin maraknya berita hoaks.

Benar memang, Indonesia menjunjung kebebasan berpendapat yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak atas kebebsan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Juga dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 23 ayat (2) bahwa setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memerhatikan nilai-nilai agama, kesusialaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan negara. Namun bukan dalam artian sebebas-bebasnya. Kebebebasan berpendapat harus tetap menjaga norma dan nilai-nilai agama serta budaya yang ada.

Jelaslah kiranya, bukan hanya mulut yang menjadi harimau saat ini, melainkan jari juga. Kita sebagai pengguna media sosial bertanggung jawab penuh atas apa yang sudah kita ketik dan kita sampaikan melalui tulisan kita. Maka dari itu, bijaklah bermedia sosial, bijaklah dalam membagikan dan menerima informasi. Agar kekritisan kita tidak menjadi kekrisisan terhadap moral kita.

- Advertisement -

Share article

Latest articles