Memasuki Era Digital, Penulis Harus Mawas Diri

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrasi. (foto/Ilustrasi/Pixabay)

Penulis: Asep Muhammad Sobirin

Indonesia saat ini tengah mengembangkan gerakan literasi, dibuktikan dengan semakin banyaknya penulis. Baik itu penulis artikel, opini, cerpen, atau bahkan penulis buku. Para penulis pun kini lebih mudah menyebar luaskan tulisannya melalui media cetak dan media online. Sebab, menulis adalah kegiatan yang tidak ada matinya.

Hal tersebut didukung dengan perkembangan teknologi di Indonesia sehingga memudahkan para penulis memperkenalkan, mempublikasikan atau bahkan menjual tulisannya. Seperti halnya saat ini, ketika Indonesia telah memasuki era ‘Revolusi Indsutri 4.0’. Berdasarkan artikel yang dikutip dari Sindonews.com, revolusi industri keempat ditandai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal.

Tidak hanya sebatas proses produksi, tetapi juga seluruh mata rantai industri sehingga menghasilkan model bisnis baru yang berbasis digital. Semua proses tersebut menciptakan efisiensi yang tinggi dan kualitas produk yang lebih bermutu.

Baca juga: Akibat Covid-19, Beredar Petisi Penghapusan SPP

Nah, dalam setiap perkembangan pasti memilliki beberapa dampak, mulai dari dampak baik sampai kepada dampak buruk, seperti halnya bagi penulis. Perkembangan era digital berdampak baik karena, penulis akan dengan mudah menyebarluaskan tulisannya lewat media online tanpa harus mengirimkan tulisannya ke media cetak.

Namun, juga bisa berdampak buruk sebab semakin banyaknya Electronik Book (E-Book) ilegal tersebar luas secara gratis dengan mudah. Hal tersebut juga didukung dengan minimnya regulasi yang melindungi penerbitan atau penulis.

Hal tersebut tentu saja merugikan para penulis buku atau bahkan penertib buku, sebab akan lebih banyak masyarakat di Indonesia yang memilih membaca e-book gratis dari pada harus membeli yang asli dengan harga yang fantastis. Walau tidak bisa terpukul rata bahwa semua masyarakat Indonesia memiliki pikiran tersebut, namun tetap harus diakui bahwa masyarakat akan lebih senang mendengar kata ‘Gratis’.

Baca juga: Antisipasi Penyebaran Covid-19, UIN SU Perpanjang Kuliah Daring

Sejatinya e-book juga dapat diperjual-belikan, bahkan untuk saat ini tidak sedikit buku yang sudah diperjual-belikan secara electronic dan e-book tersebut dapat dibeli di Google Play Store atau sejenisnya. Penjualan e-book juga terbilang mudah, tanpa harus dikirim melalu pos atau sebagainya, hanya dengan menekan tombol ‘unduh’ konsumen sudah bisa memiliki e-book tersebut.

Lantas, seorang penulis buku harus mampu memutar otak dan memikirkan pemecahan masalah tersebut. Akan tetapi, e-book juga merupakan salah satu jalan keluar permasalahan tersebut. Sebab, lamban laun buku sebagai media membaca akan tersingkirkan dengan adanya media online seperti blog, website, artikel, atau e-book walau tidak tahu kapan itu akan terjadi. Namun, melihat dari kultur Indonesia yang lebih menyukai buku versi cetak dari pada versi digital, memungkinkan usia buku cetak masih panjang.

Tapi, sampai kapan buku cetak akan bertahan? Jika saat dimana buku cetak sudah tidak seeksis sekarang, maka pemerintah harus mampu mengeluarkan kebijakan penggunaan e-book yang legal, mengingat perkembangan zaman yang serba menggunakan IT. Sebagai konsumen, masyarakat perlu tahu tentang bagaimana cara mengapresiasi para penulis dengan membeli buku cetak maupun e-book yang legal.

Editor : Rindiani

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles