Mari Prioritaskan Bahasa Indonesia

- Advertisement - Pfrasa_F
Editor

Penulis: Ayu Wulandari Hasibuan

Bahasa Indonesia dipelajari oleh masyarakat asing di 45 negara di dunia. Di Australia, ada sekitar 500 sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia. Bahkan, ada siswa-siswi kelas VI yang sudah pandai berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia pun menjadi bahasa populer ke-4 di negara Kanguru ini.

Lagi, sejak akhir 2007, pemerintah daerah Ho Chi Minh City, Vietnam menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi setelah bahasa Vietnam. Hal itu menjadi bukti bahwa Vietnam adalah negara kedua setelah Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi.

Ada kebanggaan tersendiri melihat bahasa Indonesia ini dibawa ke kancah internasional, bukan sekadar diketahui tapi diterapkan pula. Dan rasa miris pun dirasakan juga, negara asing berbondong-bondong mempelajari bahasa ini, sedangkan bangsa ini justru khusyuknya melafalkan bahasa asing, tidak paten tidak keren kalau tidak pandai berbahasa asing minimal bahasa internasional dunia, bahasa Inggris.

Padahal kalau diulik, bahasa Indonesia yang sering diucapkan saja masih perlu perbaikan. Mungkin terlihat sepele, tapi dampaknya justru melunturkan kaidah bahasa yang sesungguhnya. Contohnya, penggunaan kata “di mana” acap kali digunakan sebagai konjungsi, bukan sebagai kata tanya sebagaimana fungsi yang sepatutnya.

Dalam tata bahasa yang tertulis pada Kamus Besar Bahasa Indonesia IV dan Ejaan yang Disempurnakan (EyD), kata “di mana” harus dihindari, karena kata “di mana” ini dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kata tanya bukan konjungsi.

Misal, 1. Di mana rumah kamu? Ini penggunaan yang benar karena kata “di mana” di gunakan sebagai kata tanya. 2. Ia meninggalkan kampung halaman di mana ia lahir. Ini penggunaan yang salah, kata “di mana” digunakan sebagai konjungsi. Nah, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kalimat yang menggunakan “di mana” sebagai konjungsi? Bisa diubah dengan kata “tempat”, Ia meninggalkan kampung halaman tempat ia lahir.

Latah berbahasa asing

Bukan main hebatnya perjalanan bahasa Indonesia melewati kongres demi kongres yang berlangsung lima tahun sekali, bermula dari Kongres Bahasa Indonesia I pada 25-28 Juni 1938 di Solo yang menyimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia. Sekarang sudah Kongres Bahasa Indonesia XI pada 28-31 Oktober 2018 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta yang mengusung tema “Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia”.

Di zaman ini, justru bahasa yang sudah lama dibina, sekejap mata seakan seperti tidak lagi bergairah. Anak muda, anak kecil, paruh baya, sampai lansia walau sepotong kata bahasa asing sangat lancar mengucapkannya. “Hello, how are you?”. Latahnya, acap kali kata “ok” sebagai jawaban menyetujukan diucapkan dan diketikkan di pesan telepon.

Jelas dari hal sekecil ini nantinya bisa merambah dan menjalar dalam ingatan generasi bangsa. Kata “baiklah” atau “ya” kian kelam, jangan sampai. Bahkan kata “selamat pagi” mulai kikuk mengucapkannya, lebih mudah “good morning”, nah kembali kepada diri sendiri saja.

Parahnya lagi, karena terbuai dengan kebiasaan berbahasa asing muncul kenyamanan. Akhirnya, anak muda sekarang lebih menekuni bahasa asing, tapi ketika ditanya suka belajar bahasa Indonesia, jawabnya ‘tidak, karena susah’. Padahal akan lebih susah lagi kalau bahasa persatuan bangsa ini tersisihkan? Dari paragraf ini bukan bermaksud menyatakan berbahasa asing itu salah, bukan.

Justru baik memiliki kemampuan berbahasa asing, akan tetapi perlu disaring lagi ketepatan penerapannya, gunakanlah di saat yang tepat. Ketika berbicara dengan bangsa asing silakan pakai bahasa asing, namun ketika berbicara dengan orang Indonesia utamakan berbahasa Indonesia.

Dan seimbangkan penggunaan bahasa Indonesia khususnya di ruang publik. Mengapa demikian? Karena jika penggunaaan bahasa Indonesia di ruang interaksi sosial antarmasyarakat seperti ini saja tidak dibiasakan, maka secara tidak langsung akhirnya mengedukasi lingkungan. Misal, peringatan dalam spanduk yang dipampangkan di pinggir jalan tertulis ‘Stop, Buang Sampah Sembarangan!’, ‘Car free day’, dan lainnya.

Tambah lagi, banyak bahasa asing yang tidak ada di KBBI bermunculan, istilahnya bahasa gaul seperti lenje, sotoy, gabut, dan lainnya. Bahasa ini semakin bertambah zamannya makin tampak ke permukaan, semakin banyak kata-katanya. Anak-anak muda Indonesia pula yang mencetuskannya bahkan mengonsumsinya sehari-hari.

Pilunya, bahasa-bahasa ini malah merambat ke ruang resmi. Di sekolah, dalam proses belajar-mengajar formal kerap kali interaksi murid ke murid, murid ke guru, tidak mengindahkan bahasa Indonesia. “Ok Bu, kepo nih sama jawabannya”.

Mari kembali kita ingat, bunyi Sumpah Pemuda ketiga, “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, dan mari kita buka lagi dalam pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah ditandatangani pada 18 Agustus 1945 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Betapa pentingnya kedudukan bahasa Indonesia saat ini di jiwa bangsanya. Kalau bukan kita yang mengutamakan berbahasa Indonesia, lantas siapa? Boleh kita pelajari bahasa asing tapi tetap bahasa bangsa ini nomor satunya.

Kata Dardjowidjojo (2008) memurnikan bahasa Indonesia dengan mencegah kata asing bukan hanya bertentangan dengan kodrat, tapi juga menjauhkan kita dari masa depan. Mengapa? Karena persentuhan dengan bahasa dan kebudayaan asing adalah sesuatu yang diyakini. Maka, tidak ada yang menghalangi mampu berbahasa asing. Tapi, jangan latah!

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles