Kebijakan MEA, Indonesia mau dibawa kemana?

- Advertisement - Pfrasa_F
Foto: www.google.com

Penulis: Ahmad Azwar Batubara

Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan hal yang sangat penting dicapai karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan perekonomian yang lebih baik dan ini akan menjadi indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara. Percepatan tersebut, mulai dari melakukan pembenahan internal kondisi perekonomian di suatu negara bahkan sampai melakukan kerjasama internasional dalam segala bidang untuk dapat memberikan kontribusi positif demi percepatan pertumbuhan ekonomi.

Sudah 3 tahun kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) merangkak menunjukkan eksistensinya di kawasan Asia Tenggara. Tepat di penghujung tahun di 2015 kebijakan yang didominasi oleh orang-orang berambut hitam, bermata sipit, dan memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi mulai dijalankan.  MEA merupakan sistem perdagangan bebas antar negara ASEAN yang telah menyetujui perjanjian Masyarakat Ekonomi Asean, dimana peran bea cukai dihilangkan sehingga barang-barang dari luar negeri dapat masuk secara bebas. MEA mempunyai tujuan utama untuk menjadikan kawasan ASEAN pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang kompetitif (bersaing), kawasan pembangunan ekonomi yang adil dan kawasan yang tergabung ke dalam ekonomi global. Untuk itu, negara-negara ASEAN menyepakati untuk melakukan liberalisasi pada lima aspek ekonomi: barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil.

MEA adalah sasaran integrasi ekonomi yang berkarakter seperti; 1) Pasar tunggal dan kesatuan basis produksi, 2) Wilayah yang sangat kompetitif secara ekonomi, 3) Wilayah pembangunan ekonomi yang berimbang, dan 4) wilayah yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Intinya, MEA akan mentransformasikan ASEAN menjadi wilayah yang lebih bebas dalam hal aliran barang, aliran investasi, aliran tenaga terdidik dan aliran modal.

Indonesia sebagai negara dengan pasar terbesar, terluas serta memiliki keunggulan komparatif sumber daya alam, memiliki tantangan sekaligus peluang yang cukup besar dalam MEA. Namun jika ditelaah secara saksama, masih banyak benang kusut yang menghantui Indonesia agar dapat bertahan untuk menghadapi segala cobaan pada MEA. Karena setelah diberlakukan MEA di Indonesia akan mempengaruhi segala sektor perekenomian, mulai dari bidang kesehatan, UMKM, energi, infrastruktur, pangan, dan lain-lain.

Jika ditelaah lebih dalam banyak pemikiran-pemikiran yang pro dan kontra dengan memberlakukan kebijakan MEA di Indonesia. Jika dilirik menurut persepektif Islam ketika MEA diberlakukan di Indonesia akan menjadi ancaman tersebesar karena akan membunuh perlahan usaha-usaha kecil yang dimiliki oleh rakyat. Menurut pandangan Islam yang dikutip dari hizbut-tahrir.co.id MEA hakikatnya adalah liberalisasi ekonomi. Liberalisasi akan makin meminggirkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Semuanya diserahkan kepada individu dan mekanisme pasar.

MEA yang bernafaskan liberalisasi pasar mengharuskan minimalisasi peran negara mengatur perdagangan dan investasi luar negeri. Dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan hubungan antar negara dan itu ada dalam tanggung jawab negara. Dalam Islam negara memiliki kewenangan mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain baik dalam bidang ekonomi, perdagangan atau lainnya. Karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol negara.

Berbeda hal dengan perspektif sistem dunia (world system) sebagai basis teori pembangunan ekonomi, semakin diyakini bahwa kesejahteraan dunia dapat ditingkatkan melalui perdagangan antar negara, sepanjang perdagangan tersebut bebas hambatan. Sesuai dengan teori David Ricardo[1] (1821) tentang keunggulan komparatif menyatakan bahwa suatu negara mempunyai keunggulan  komparatif  dalam  memproduksi suatu  barang  apabila  biaya  yang dibutuhkan lebih kecil dari pada negara lain. Perdagangan antara dua negara akan menguntungkan karena setiap negara di mungkinkan mengkhususkan diri pada produksi barang tertentu secara efisien (Hutabarat, 2009). Melalui perdagangan, masing-masing Negara dapat melakukan spesialisasi produksi sehingga total produk dunia meningkat dan  biaya produksi menurun, efisiensi produksi ini akan meningkatkan kesejahteraan sosial dunia. Namun selama ini, perdagangan itu terhambat oleh berbagai hal terutama kebijakan tarif dan non-tarif sehingga mengurangi dampak kesejahteraan sosial.

Jika Indonesia tidak bersiap dan berbenah, kebijakan MEA yang telah diberlakukan hingga sekarang ini diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda pasti akan menjadi peluang dan ancaman bagi Indonesia sendiri. Indonesia harus mampu bersaing dan unggul di MEA, karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat luar biasa yang jika tidak dipergunakan dengan baik,  akan menjadi bencana nantinya.

Editor : Ridha Amalia

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles