Dampak Panic Buying Terhadap Ekonomi

- Advertisement - Pfrasa_F
Kasubdiv Pemas. Foto: Dok. Pribadi

Penulis: Annisari

Semenjak diumumkannya bahwa terdapat dua warga Indonesia yang terjangkit virus korona oleh pemerintah beberapa waktu lalu, membuat sebagian masyarakat meresponsnya dengan panic buying atau panik belanja. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap kenaikan harga kebutuhan sehari-hari.

Penimbunan barang yang dilakukan oleh masyarakat selaku konsumen ketika menghadapi situasi tertentu yang dipandang gawat atau darurat kerap dikenal dengan istilah panic buying. Dikutip dari Tirto.id perilaku panic buying ini menurut Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dipicu oleh faktor psikologis yang biasanya terjadi karena informasi tidak sempurna atau menyeluruh yang diterima oleh masyarakat. Akibatnya, timbul kekhawatiran berlebihan sehingga menimbulkan respons tindakan belanja secara masif sebagai upaya penyelamatan diri.

Masih mengutip dari Tirto.id, ada dua bentuk kekhawatiran yang terjadi di masyarakat. Pertama, masyarakat khawatir kalau tidak belanja sekarang, bisa saja besok harga barang naik. Kedua, jika tidak belanja sekarang, maka esok hari barangnya sudah tidak ada. Seperti inilah kondisi panic buying yang sekarang terjadi, terutama untuk masker dan hand sanitizer. Tidak hanya berdampak pada kedua barang tersebut, barang-barang seperti susu, bahan dapur dan lainnya juga ikut naik.

Dalam ekonomi, maraknya orang yang memburu suatu barang, seperti masker dan hand sanitizer memengaruhi sisi permintaan. Sebagaimana hukum permintaan dan penawaran dalam ilmu ekonomi berlaku yaitu: jika permintaan terhadap suatu barang tinggi maka harga barang akan semakin mahal sebaliknya apabila permintaan barang sedikit maka harga barang akan rendah. maka perubahan terhadap penawaran atau permintaan akan membuat adanya perubahan di harga barang serta kondisi lainnya.

Faktor inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemburu renten atau pencari keuntungan. Sebab, ditengah kondisi panic buying, tambah lagi dengan beredarnya kabar bahwa seorang yang terindikasi virus korona (COVID-19) dikabarkan kabur dari isolasi mandiri alias keluyuran keluar rumah yang membuat masyarakat semakin resah dan memilih jalan untuk membeli barang lebih dari yang dibutuhkan agar tidak terlalu sering keluar rumah. Jika hal ini dilakukan oleh banyak orang, maka akibatnya adalah terjadi kelangkaan barang yang disebabkan ketidakseimbangan antara demand dan supply. Kelangkaan akibat tidak seimbangnya permintaan dan penawaran ini berujung pada kenaikan harga.

Diperlukan kejelasan informasi dari otoritas yang berwenang untuk mengantisipasi terulangnya panic buying. Selain itu, informasi yang disajikan pemerintah harus benar-benar jelas, tidak tumpang tindih dan transparan sehingga dapat meredam tekanan psikologis masyarakat termasuk dari berbagai macam berita hoaks yang beredar.

Membagikan masker secara cuma-cuma atau gratis kepada masyarakat juga merupakan langkah nyata yang bisa dilakukan pemerintah sebagai antisipasi penyebaran korona. Hal ini seperti yang pernah pemerintah RI lakukan saat mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan. Distribusi pembagian masker ini pun bisa dilakukan secara fleksibel, seperti di tempat-tempat keramaian, perkantoran, sekolah-sekolah, kampus dan sebagainya.

Padahal, saat ini yang perlu dilakukan masyarakat untuk mencegah penularan dan penyebaran wabah COVID-19 adalah dengan mencuci tangan dan mempraktikkan hidup bersih untuk menjaga kesehatan diri. Mencuci tangan merupakan hal yang biasa kita lakukan hampir setiap saat. Tetapi dengan adanya wabah virus ini membuat peristiwa menjadi dramatis sehingga tanggapan masyarakat ikutan dramatis. Orang-orang menghamburkan uang dengan harapan dapat melindungi diri mereka sendiri serta keluarga.

Kendati demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa dalam menghadapi ancaman yang tidak diketahui, manusia cenderung menggunakan pengetahuan yang telah mereka ketahui sebelumnya dari ancaman serupa. Beberapa orang mengaitkan wabah COVID-19 dengan wabah SARS yang pernah terjadi pada 2003 silam.

Memilih untuk panic buying atau berbelanja sesuai kebutuhan sepenuhnya ada di tangan konsumen. Namun, alangkah baiknya untuk tetap menjaga tindakan agar tidak merugikan orang lain. Sebab, dengan panic buying kita merugikan orang yang benar-benar membutuhkan sebaliknya boleh jadi yang diuntungkan malah para pemburu rente yang memanfaatkan situasi seperti sekarang.

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles