Bahaya dari Maskulinitas Beracun

- Advertisement - Pfrasa_F
Editor. (Foto/Dok. Dinamika)

Penulis: Amelia Pratiwi

Laki-laki kok enggak suka main bola! Laki-laki kok nangis, sih! Laki-laki kok mau aja bersih-bersih rumah!”

Mungkin, beberapa teman-teman ada yang sudah tahu mengenai toxic masculinity ini, dan sudah mengerti dampak buruk yang terjadi jika maskulinitas beracun atau toxic masculinity itu terus-terusan dianut oleh para lelaki. Lalu, sebenarnya apasih toxic masculinity beracun ini? Dilansir dari bobobox.co.id, toxic masculinity merujuk pada tingkah laku maskulin yang represif dan tidak baik.

Kemaskulinan oleh toxic masculinity ini didasari oleh kekerasan, jenis kelamin, status, relasi kuasa dan agresivitas. Toxic masculinity lahir dari konstruksi dan budaya ideal masyarakat patriarkis, yang mana kejantanan atau maskulinitas itu selalu berhubungan dengan kekuatan, kekerasan dan represi emosi, sedangkan femininitas dilihat sebagai perilaku yang lebih ‘rendah’ karena berhubungan dengan kelemahan dan emosional. Padahal, Laki-laki tidak terlahir secara gamblang menjadi seseorang yang keras, agresif dan lainnya.

Akan ada banyak keburukan yang kita peroleh jika masih saja melakukan toxic masculinity, seperti gagasan bahwa laki-laki tidak boleh cengeng, tidak boleh lemah, laki-laki harus selalu kuat, yang membuat mereka sulit mengekspresikan sisi emosionalnya. Toxic masculinity ini biasanya selalu berujar bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis, padahal menangis adalah sebuah ungkapan perasaan seseorang. Dan laki-laki adalah seorang manusia, menangis hal yang wajar dilakukan bukan?

Apalagi, akhir-akhir ini kesehatan mental harus selalu diutamakan dalam melakukan segala hal, termaksud bersosial media. Ketika seseorang sulit berekspresi dalam menunjukkan rasa emosionalnya, hal ini dapat memicu seseorang menjadi depresi, bahkan hal yang paling parah ketika semua masalah hanya dapat dipendam tanpa bisa diutarakan secara gamblang dapat memicu bunuh diri. Bisa saja hal ini dilakukan jika seorang lelaki yang tidak terlalu maskulin sering mendapatkan perundungan terhadap sikapnya yang sedikit feminim.

Gagasan bahwa laki-laki harus memiliki sifat yang kuat serta emotionless membuat mereka dengan mudah untuk menjadikan kekerasan sebagai sebuah jawaban dari semua masalah. Sifat toxic masculinity terjadi juga bisa karena faktor lingkungan yang toxic dan berdampak negatif untuk kehidupannya. Lingkaran pertemanan juga memengaruhi cara seseorang dalam berpikir dan melakukan tindakan.

Seperti, jika seorang lelaki menunjukkan sifatnya yang kasar dan mempunyai banyak pacar, hal ini sering dianggap wajar karena mereka seorang lelaki, dan jika seorang lelaki berbicara dengan kurang sopan dan melakukan tindakan pelecahan seksual beberapa orang akan menganggap wajar karena mereka adalah seorang lelaki. Namun, jika kedua hal itu dilakukan oleh seorang perempuan, mereka akan direndahkan, karena itu bukanlah hal yang wajar menurut banyak orang. Tanpa disadari, hal-hal seperti ini mendukung perspektif berstandar ganda dengan makin mereduksi feminitas dan mempromosikan toxic masculinity.

Dan ada begitu banyak fakta bahwa beberapa perempuan dibunuh oleh lelaki untuk mengukuhkan maskulinitasnya. Sifat toxic masculinity ini sering juga kita lakukan tanpa kita sadari, maka selalu utamakan berpikir sebelum bertindak, karena kita enggak akan pernah tahu apa dampak dari perbuatan dan perkataan kita. Kita bisa lepas dari sifat toxic masculinity asal kita dapat memahami sesama dan memandang sesama sebagai seorang manusia tanpa memandang sebuah gender. Jangan pernah melakukan kesalahan hanya untuk perlindung di balik toxic masculinity. Sadari, bahwa hal ini tidak baik dan tidak sehat untuk kesehatan mental kita, agar kita bisa hidup dengan keharmonisan.

- Advertisement -

Share article

Latest articles