Oleh : Amri Bidin Sagala *
Ada kapal! ada kapal!, Bang ikut! Bang ikut! Teriak mereka kegirangan
Sungai coklat itu, tak seindah dahulu lagi. Kini ia telah menyimpan beribu duka yang tak mampu ia tolak. Ya, ribuan sampah yang mengaliri sepanjang hamparanmu dan aroma busuk yang sangat menyengat indra penciuman. Sungai Deli namamu, sungai kebanggaan masyarakat Medan masa lampau. Sungai yang sebelumnya tak pernah kukenal, sungai yang dulunya kulihat lewat pemberitaan di televisi yang mengabarkanmu ketika musim hujan datang karena keadaanmu yang telah digenangi ribuan tetesan hujan.
Kehidupan di Balik Sungai Deli
Pagi itu, dengan semangat luar biasa, enam orang kawula muda, memutuskan untuk mengarungi Sungai Deli menggunakan perahu karet bermesin ditemani seorang nahkoda dan asistennya akan membawa kami mengarungi Sungai Deli sampai Selat Malaka Laut Belawan dan berakhir di negeri tonggak kayu, ya Kampung Nelayan.
Taman Edukasi Avros, daerah Polonia menjadi titik awal kami mengarungi Sungai Deli, sang nakhoda menarik pelatuk mesin, dan menancap gas untuk mulai pengarungan Sungai Deli. Tak lama, suara mesin menjadi berbeda, kenapa? Baling-baling mesin didalam air telah menggulung sesuatu. Ku lihat sang nakhoda mengangkat baling-baling mesin yang telah terlilit sampah. Asisten sang nahkoda pun turut andil dalam melepaskan lilitan sampah itu.
Setelah mengarungi beberapa menit, kami mulai melewati rumah-rumah penduduk pesisir Sungai Deli. Banyak yang aku lihat saat itu, beberapa pemancing mania sedang menunggu pancingnya, menyambut kami dengan sambutan hangat, ada pula yang merasa terganggu dengan kehadiran kami karena telah menyebabkan kebisingan. Teriakan anak kecil menyambut kehadiran kami dengan kegirangan, “Ada kapal! Ada kapal!” teriak mereka, dengan senyuman semringah sontak kubalas dengan lambaian tangan begitu apik.
Kami terus melaju, mengarungi sungai dengan aroma super itu. Sekumpulan ibu-ibu yang tengah mencuci pun turut menjadi pusat perhatianku. Aku tak habis pikir, mencuci di Sungai Deli? Pikirku. Sungai yang tak layak pakai menjadi sumber kehidupan mereka. Mulai dari mencuci baju, mencuci piring bahkan mandi, apa mereka tidak akan sakit? Aku terus bertanya didalam hati. Kenyataannya mereka baik-baik saja.
Ibu-ibu yang tengah mencuci baju itu, seperti malu menyambut kehadiran kami. Aku mendengar celotehan mereka, “Jangan difoto!” ujar salah seorang dari mereka.
Anak-anak berenang bersama, tanpa sehelai pakaian pun yang mereka kenakan, “Bang ikut! Bang ikut!” sapa mereka sembari mengejar perahu kami. Sang nakhoda segera menancap gas perahu kami. Aku teringat dengan masa kecilku, yang menghabiskan masa kecil bermain di aliran Sungai Ladang Bisik, Aceh Singkil, tanah kelahiranku. Sungai yang masih terawat keasriannya, walaupun saat ini telah ditinggal penduduk pesisir sungai itu.
Kulihat paras dari salah satu kami yang melihat pemandangan tak mengenakkan karena melihat seorang kakek yang tengah membuang hajat. Ia memalingkan mukanya, kurasa ia mual melihat pemandangan itu.
Tak lama, ku lihat sebuah truk bertuliskan Dinas Kebersihan. Truk berwarna kuning itu tengah parkir dijalan pinggir Sungai Deli. Aku hanya bisa menebak tentang kebenaran truk yang tengah parkir itu. Apa ia membuang sampah disitu? Atau, ia mengangkut sampah dari pinggiran Sungai Deli itu?Berbagai pertanyaan bersarang dibenakku. Ah, sudahlah ujarku. Mungkin mereka tak sadar, betapa pentingnya air untuk kehidupan.
Sungai Deli dengan sampah yang bertubi-tubi. Kulihat televisi bekas yang hanyut melewati perahu yang kami tumpangi, tak lama kemudian terlihat sofa yang tengah mengapung mengikuti arus. Dan tiba-tiba sang nakhoda mengangkat kembali baling-baling mesin. Apa lagi itu pikirku? Kali ini bukan sampah biasa, ya selimut dengan ukuran jumbo tersangkut di baling-baling mesin perahu, sang nakhoda dan asistennya bersusah payah melepaskan lilitannya hingga menggunakan parang untuk melepaskannya. Selama mesin perahu mati, sebagian dari kami pun tak tinggal diam. Dua buah pedal yang sudah kami bawa, menjadi alat bantu dalam mengarungi Sungai Deli ini.
Di Sungai Deli ini, aku melihat berbagai macam sampah, mulai dari sampah makanan ringan sampai sampah peralatan rumah tangga, ada di sini. Sungai Deli sudah mengidap penyakit akut stadium akhir yang menyebabkannya sering meluap.
Tak hanya sampah, pepohonan yang tumbuh di pinggiran Sungai Deli menjadi penghambat perjalanan kami. Didaratan, jalan dilengkapi dengan lampu merah yang memantau kemacetan. Nah, di Sungai Deli bukannya lampu merah tapi batang-batang bambu kuning yang siap menghadang bahkan sesekali mengenai kami.
Tak hanya itu, sepanjang perjalanan pun ku lihat banyak gorong-gorong mengarah ke Sungai Deli. Bahkan gorong-gorong itu pun menghasilkan aroma yang menyengat hidung.
Sekitar tiga jam kami telah mengarungi, namun kami tak kunjung sampai. Padahal sebelum berangkat sang nakhoda mengatakan bahwa perjalanan hanya memakan waktu dua jam saja. Hal itu disebabkan karena muatan perahu karet yang kelebihan beban, sehingga lajunya menjadi pelan.
Hari terik mengiringi perjalanan kami. Saat itu, matahari pun tepat berada sejajar diatas kami. Ku lihat raut wajah sang nakhoda yang tampak lemah, namun dengan semangat luar biasa ia tetap mantap menaklukkan Sungai Deli yang terjal karena volume air saat itu rendah.
Aku yang sebelumnya duduk dibagian depan perahu, mendapat kesempatan duduk di sebelah mesin sebagai asisten nakhoda. Akupun turut ambil andil dalam perjalanan ini. Melakukan seperti yang sebelumnya aku perhatikan. Ya, melepaskan lilitan sampah dari baling-baling, walaupun sebelumnya aku merasa jijik, tak lama aku pun menikmatinya. Terdengar celotehan dari salah satu kami, “ada bakat” ujarnya sembari tersenyum, aku sambut dengan senyuman juga.
Sepanjang Sungai Deli, terdapat beberapa jembatan kecil yang sengaja dibuat sebagai penghubung dengan daerah lainnya.Semakin lama, Sungai Deli semakin lebar, yang menandakan kami akan segera sampai ke muara sungai, ya Selat Malaka Laut Belawan. Kulihat lalu lalang perahu nelayan dengan berbagai macam bentuk. Ada pula yang tengah parkir lengkap dengan perlengkapan menangkap ikan.
Kulihat juga, penduduk pesisir sungai banyak menyapa sang nakhoda, ya jelas, rupanya ia sudah beberapa kali melintasi Sungai Deli hingga Selat Malaka ini.
Sesampainya di muara Sungai Deli, Laut Belawan. Aku melihat berbagai kapal nelayan semakin ramai. Kami melewati Pelabuhan Belawan, berbagai kapal besar sedang menurunkan muatannya. Setelah sekitar lima jam akhirnya kami tiba di negeri tonggak kayu, Kampung Nelayan.
Beragam kehidupan penduduk pesisir Sungai Deli ku lihat hari itu, pemandangan yang jarang kutemukan itu telah menjadi rutinitas mereka tiap harinya.
Mengenal Kampung Nelayan
Kampung Nelayan menjadi titik terakhir ekspedisi kami setelah hampir lima jam berada diatas air. Kampung dengan rumah panggung diatas air dan kayu sebagai tonggaknya. sehingga aku sebut ia ‘Negeri Tonggak Kayu’ karena kayu sebagai penompangnya.
Kami segera turun, menapaki jalan yang ditopang oleh puluhan kayu itu, jalan yang hampir tak layak lagi. Tak lama kulihat lambang Universitas Sumatera Utara (USU) di sebuah pondok bertuliskan Pengabdian Masyarakat USU didanai oleh BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri). Aku teringat ketika mewawancari Bapak Parluhutan, Sekretaris LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UIN SU, yang mengatakan 30% dari dana BOPTN ini untuk penelitian dan pengabdian Masyarakat. “Kapan UIN SU akan buat seperti ini juga, jangan hanya mengandalkan Kuliah Kerja Nyata(KKN) saja, mestinya dosen-dosen pun turut serta di dalamnya”, harapku.
Bu Eli (32) ibu dari tiga anak ini, menyambut kami dengan senyuman ramah, menjadi tempat persinggahan kami sore itu.
Segara kudekati pondok itu dan kurebahkan badanku karena duduk terlalu lama membuatku lelah. Perahu-perahu hilir mudik bergantian dengan penumpang dan ikan yang dibawa menjadi pemandangan indah sore itu. Di pondok itu, kami menyantap masakan ala pesisir. Ikan, udang, sambal kecap dan sambal belacanserta gorengan dan jajanan ala kampung nelayan yang dijajakan dua orang gadis belia.
Setelah selesai menyantap hidangan yang disajikan, segera kami bereskan bekas piring yang telah kami gunakan. Kami pun memutuskan melaksanakan shalat Asar secara bergantian. Setelah usai shalat, kami bercerita dengan keluarga pak Irwan (34). Ia menyampaikan kegunaan pondok yang multifungsi itu. “Pondok itu adalah tempat berkumpulnya kelompok Tunas Muda”, ujar Irwan.
“Pondok itu juga tempat belajar anak. Tujuannya memotivasi anak supaya mau belajar, anak yang putus sekolah diajari supaya bisa baca dan belajar bersama”, tutur Irwan.
Irwan sosok inspiratif yang masih peduli dengan dunia pendidikan. Ia berprofesi sebagai nelayan. Eli, istrinya sebagai ibu rumah tangga dan tergabung dalam kelompok perempuan Tunas Muda membuat kerupuk jeruju rasa udang dan kerupuk ali-ali yang manis. “Kerupuk ini dijual seharga Rp7.000,00 perbungkus, dan sudah dijual keluar, karena kami punya pendamping untuk pendistribusiannya”, ujarnya.
Eli juga mempunyai pekerjaan sampingan, ketika air surut ia menanam kayu mangrove di polybag yang dijual seharga Rp2.000,00 per polybag.
Sebagai tempat muara Sungai Deli, pasti kampung nelayan pun turut rasakan akibat dari pencemaran sungai itu. Sampah bertebaran diantara genangan air beserta lumpur di bawah rumah kayu, penduduk Kampung Nelayan. Itulah, sekilas tentang Kampung Nelayan dan kepedulian mereka terhadap sesama.
Save Our Rivers Consortium, Berkomitmen untuk Sungai Deli Lebih baik
Save Our Rivers Consortium (Konsorsium Penyelamatan Sungai), melakukan berbagai pergerakan untuk Sungai Deli yang lebih baik tentunya. Berbagai upaya pun dilakukan para penggiat Sungai Deli. Menjalin kerja sama dengan lembaga pemerintahan. Melihat keadaan Sungai Deli seperti saat ini, sudah seharusnya pemerintah ikut andil dalam pemeliharaan dan menghidupkan Sungai Deli kembali.
Save Our Rivers Consortium, telah mengenalkanku dengan Sungai Deli dan teman baru dari berbagai kampus beberapa bulan lalu melalui sebuah workshop Jurnalisme Pariwisata dan Lingkungan mengusung tema “Membangun Komitmen untuk Sungai Deli yang Lebih Baik” suatu tindakan yang mulia dalam mensyukuri pemberian-Nya.
Berbagai ide, harapan, tindakan, dan kepedulian berbaur menjadi satu tujuan untuk Sungai Deli yang lebih baik lagi.
Nantikan dan Hadirilah!!! Sungai Deli Festival 2015 di Taman Edukasi Avros Medan. 24-26 April 2015. Ayo Selamatkan Sungai Deli dengan tidak membuang sampah ke sungai.