Ngatini, Secuil Potret Perjuangan Kartini Abad XXI

- Advertisement - Pfrasa_F

Ngatini, Secuil Potret Perjuangan Kartini Abad XXI

Oleh: M. Zuchri Nasuha Lubis*

“Ibu sadar, berapalah untung menjual serai dan daun salam. Tapi inilah yang bisa ibu lakukan. Bahkan sanggup menyarjanakan anak yang paling besar.”

“Daun salam, daun salam… Serainya, serai…” Berkali-kali terdengar kalimat tersebut di tengah ramainya kerumunan penjual dan pembeli di Pasar Melati. Riuhnya suasana pasar, tidak mengurangi lantangnya suara yang ia teriakkan untuk mengundang perhatian orang di sekitarnya.

Tak lama, ku tujukan pandangan ke arah sumber suara. “Daun salamnya Dek, seribu aja satu ikat.” Terlihat seorang ibu mengenakan jaket merah muda dan songkok berwarna biru donker sedang duduk dikelilingi bungkusan dan ikatan daun salam sambil menunjukkan seikat daun salam kepada seorang wanita muda yang berjalan melewatinya. Berharap wanita muda tersebut membeli daun salam yang ia teriakkan, wanita muda tersebut hanya berlalu dan cukup melirik sepintas daun salam yang ia sodorkan.

Penasaran dengan apa yang ku lihat, ku dekati si ibu dan satu persatu ku tanyakan apa yang ingin ku ketahui.

Tulang Punggung Keluarga

Ngatini, begitulah wanita paruh baya ini menyebutkan namanya. Usia dengan bilangan 53 tahun, tak menyurutkan semangatnya untuk menggantikan peran suaminya menopang penghidupan keluarga.

“Suami Ibu sudah gak sanggup lagi bekerja,” tuturnya. Usia suaminya yang dalam bilangan lanjut, menyebabkan kondisi fisiknya melemah dan tidak memungkinkan dirinya untuk bekerja lebih keras lagi guna menafkahi keluarga.

“Ibu punya tiga anak, kalau Ibu tidak bekerja mau makan dari mana?” ungkapnya dengan mimik serius. Seketika rasa kagum timbul dari hatiku. Perempuan paruh baya menggantikan peran suami sebagai kepala keluarga. Perlu dicatat, itu bukanlah hal yang mudah.

Mengambil perbandingan dengan kehidupan umumnya. Banyak pria berkeluarga memilih meninggalkan tanggung jawab menafkahi keluarganya. Namun berbeda dengan Ngatini. “Kita dilahirkan dengan hidup yang penuh tanggung jawab. Itulah yang menyebabkan Ibu bertahan untuk berjualan daun salam dan serai di Pasar Melati ini yang kurang lebih sudah 5 tahun,” ujarnya.

Daun Salam dan Serai Sebagai Tambahan

“Ibu sadar, berapalah untungnya menjual serai dan daun salam. Tapi inilah yang bisa ibu lakukan. Bahkan sanggup menyarjanakan anak yang paling besar.” Kembali rasa kagum timbul dari benakku. Dengan menjual serai dan daun salam, Ngatini sanggup menyarjanakan anaknya bahkan di salah satu kampus ternama berstatus negeri di Kota Medan.

“Ibu tidak peduli dengan apa kata orang lain. Banyak yang tidak percaya Ibu mempunyai seorang anak yang sudah sarjana. Tapi inilah adanya. Daun salam dan serai membantu Ibu mendapatkan uang tambahan untuk biaya sekolah anak-anak Ibu,” ujarnya. Suasana haru benar-benar menyelimutiku kala itu.

Ngatini sebenarnya mempunyai warung kopi di depan rumahnya. Tapi, itu saja belum cukup menurutnya. Warung kopi yang ia jalankan bersama suaminya dulu, belum cukup menutupi kebutuhan mereka. Ia tidak berniat menutup warung kopinya dengan pertimbangan ada saatnya pajak akan sepi pembeli.

Pasar, Mengajarkan Hidup Toleransi

Awalnya, dengan melihat penampilannya ku kira Ngatini bersuku Karo. “Nama Ibu Ngatini. Ibu orang jawa,” ujarnya sambil tertawa ringan.

“Banyak yang mengira Ibu orang Batak atau orang Karo dengan penampilan Ibu yang seperti ini. Ya inilah penampilan orang pajak,” tambahnya.

Lebih jauh Ngatini mengatakan bahwa ia dapat berbahasa Karo akibat seringnya berbaur dengan teman-teman yang bersuku Karo.

“Kita kan hidup di dunia tidak sendiri. Apa lagi, kita orang Indonesia. Ibu sangat suka dengan kata ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Walaupun berbeda-beda, kita tetap sama-sama orang Indonesia,” ujarnya.

Semakin ku dalami kepribadian Ngatini, semakin ku takjub dengan apa-apa yang ia sampaikan dan semakin ku yakini pula bahwa pendidikan itu sendiri belum tentu mewakili kualitas seseorang. Ngatini yang hanya tamat SD, mampu menerapkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dengan tepat.

Dengan kondisi ekonominya yang terbatas, ia masih mampu menerapkan pola pikir toleransi dalam pergaulan. Malah ku lihat sesekali Ngatini menggunakan bahasa Karo untuk berdialog dengan pedagang sayur yang ada di sebelahnya.

Manajer yang Baik

Ngatini sadar, warung kopi yang ia jalankan sangat membantu perekonomian keluarganya. Sadar dengan kondisi kehidupannya, anak-anaknya ia ajarkan untuk hidup mandiri. Dengan bantuan suami dan anak-anaknya, mereka berganti-gantian menjaga warung kopi.

Sebagai pengganti peran kepala keluarga, Ngatini dituntut untuk hidup sebagai manajer yang baik. Pukul 3.30 pagi, ia bangun. Pukul 5 setelah salat subuh ia harus meninggalkan rumah menuju Pasar Pancur Batu. Pukul 8.00 ia harus meninggalkan Pasar Pancur Batu dan menuju Pasar Melati. Pukul 10.00 ia harus meninggalkan Pasar Melati dengan alasan tempat ia menjajakan dagangannya adalah teras dari rumah toko orang lain. Pukul 10.00 pagi, si pemilik toko akan membuka tokonya. Ngatini pun harus menutup dagangannya dan kembali ke rumah.

Setibanya di rumah, ia menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Memasak, menyiapkan keperluan suami dan anak-anak.

Keliling Mencari Daun Salam dan Serai

Sesampainya di rumah, Ngatini harus bersiap-siap. Ia harus berkeliling ke sekitar rumahnya untuk menemukan tetangga yang bersedia menjual daun salam dan serai yang ada di ladangnya kepada Ngatini. Memang, Ngatini tidak punya ladang sendiri, hingga ia harus berkeliling mencari daun salam dan serai untuk dijual keesokan harinya.

Begitulah suasana keseharian Ngatini. Dengan bantuan anaknya, ia berkeliling mencari daun salam dan serai. Jika ia tidak menemukan daun salam dan serai, maka ia tidak akan berjualan keesokan harinya.

Pergi Subuh Pulang Petang

Keadaan yang menuntutnya untuk menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya harus meninggalkan rumah seusai salat subuh. “Ibu bangun jam 3.30 pagi, menyiapkan dagangan yang akan dibawa, habis itu salat subuh. Itulah yang ibu lakukan tiap pagi,” tutur Ngatini menjelaskan kesehariannya setiap pagi.

Ngatini telah berjualan kurang lebih 5 tahun di Pasar Melati. Selain menjual daun salam dan serai di Pasar Melati, ia juga giat membawa dagangannya ke Pasar Pancur Batu.

Usai salat subuh sampai jam 8.00, ia membawa dagangannya ke Pasar Pancur Batu dengan pertimbangan Pasar Pancur Batu ramai pembeli pada saat-saat tersebut. “Jam 8.00 sampai jam 10.00, Ibu membawa daun salam dan serai yang tersisa ke Pasar Melati ini,” ujarnya.

“Kadang, kalau dagangan belum juga habis, ibu akan mencari pasar-pasar lainnya untuk menjajakan sayuran ini. Sayuran kan cepat membusuk. Kalau tidak dihabiskan hari ini, Ibu akan rugi,” paparnya.

Seimbangkan Do’a dan Usaha

“Ibu mampu menyekolahkan anak Ibu hanya dengan warung kopi dan berdagang kecil-kecilan ini juga, pasti sudah ada yang mengaturnya. Jangan terlalu banyak meminta tetapi usaha kita sedikit. Seimbangkan do’a dan usaha. Soal kesuksesan, biarkan Allah yang mengaturnya”.

Satu hal yang tak pernah ia lupakan adalah berdoa. “Jangan pernah melupakan Allah dari kehidupan kita. Sesibuk apapun kita, ada yang akan mengatur rezeki kita,” pesan Ngatini sambil menyusun dagangannya karena penjaga toko akan segera membuka tokonya dan Bu Ngatini harus meninggalkan tempat berdagangnya.

Perbincangan kala itu terbilang singkat. Namun, banyak pelajaran yang dapat diambil dari kehidupan Ngatini. Akhirnya, terlihat Ngatini menghilang setelah memberhentikan sebuah angkutan kota yang ia tunggu. Tujuan selanjutnya adalah rumah dan ada keluarga yang menunggunya di rumah.

*Penulis adalah Pemimpin Umum LPM Dinamika UIN SU

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles