Belajar Jurnalisme Investigasi di Mess PBSI

- Advertisement - Pfrasa_F


IMG_3074
Medan, Dinamika Online – Mess PBSI Sumut, rabu (8/5) pukul 09.00 WIB sebagai lanjutan dari acara akbar Gebyar Jurnalistik, LPM Kreatif Unimed mengadakan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN). Pemateri pada hari itu adalah M. Hilmi Faiq, seorang wartawan harian Kompas, dengan materi Jurnalisme Investigasi.

Jurnalisme investigasi adalah salah satu bagian dari Indept Reporting. Yaitu suatu jenis reportase yang membahas dalam suatu peristiwa untuk mengungkap fakta. Bedanya dari indept reporting adalah proses reportase jurnalisme investigasi tidak pernah berjalan mudah dan tidak mudah mendapatkan narasumber yang terbuka. Namun fakta itu tetap harus diungkap untuk menyadarkan publik bahwa ada fakta yang perlu diketahui. “Fakta itu harus diketahui publik, sehingga masyarakat bisa aware terhadap hal tersebut,” ungkap M. Hilmi.

Pelatihan dibuka dengan pemutaran film dokumenter seorang wartawan freelance Australia, William Nessen di Aceh pada masa pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Film itu mengajarkan sikap seorang jurnalis yang berani, disiplin verifikasi dan siap mengambil resiko dalam peliputannya. Dalam film juga dituntut seorang jurnalis yang tidak hanya harus mempraktikkan cover both side, melainkan cover all side. Sebab dua sisi saja tidak cukup untuk mengungkap fakta di jurnalisme investigasi. “Cover all side itu penting. Untuk kasus GAM tadi. Jurnalis stidaknya membutuhkan empat sisi. GAM, TNI, warga dan korban,” terang M. Hilmi.

M. Hilmi menjelaskan Ada dua unsur yang perlu diungkap lebih dalam di jurnalisme investigasi. Yaitu How and Why. Maksudnya seorang jurnalis investigasi harus menitikberatkan investigasinya pada bagaimana kejadian dan kenapa itu terjadi. “Contohnya dalam investigasi kasus korupsi, jurnalis harus memfokuskan bagaimana transaksi-transaksi itu dilakukan dan kenapa bisa terjadi,” Tambah M. Hilmi.

Peliputan di daerah konflik seperti pada saat pemberontakan GAM di Aceh itu sangat membahayakan jurnalis. Saat ini, peliputan di lokasi-lokasi konflik juga masih harus ditanggung oleh seorang jurnalis, seperti peliputan di tempat tawuran atau unjuk rasa. M. Hilmi dalam hal ini memberi sedikit tips agar bisa meliput dengan aman. Yaitu dengan berada di pihak kepolisian. “Meliput di pihak pengaman akan lebih aman. Sebab jika kita membaur dengan pengunjuk rasa atau masyarakat, polisi justru akan menganggap kita bagian dari mereka. Satu hal lagi, pengetahuan masyarakat atau pengunjuk rasa masih minim tentang UU perlindungan pers.” M. Hilmi menjelaskan.

Pelatihan dilanjutkan dengan keobjektivitasan jurnalis dalam memilih narasumber. M. Hilmi mengatakan jurnalis tidak bisa selalu berpegang pada objektif murni. Dalam jurnalistik dikenal istilah objektif yang subjektif. “Contoh kasus adalah pengeroyokan seorang pemuda oleh 20 orang preman. Objektivitasnya adalah benar kita harus mewawancarai korban dan pelakunya. Tapi kan tidak semua pelaku yang harus kita wawancarai. Pemilihan narasumber yang tepat diantara banyak narasumber lain itu adalah bagian subjektifnya.” Papar M. Hilmi saat menjawab pertanyaan dari salah seorang peserta.

Pelatihan jurnalis ini ditutup dengan penyerahan plakat dari panitia ke M. Hilmi sebagai narasumber dan foto bersama seluruh peserta PJTLN. PJTLN ini sendiri masih akan berlangsung dengan agenda pelatihan jurnalisme verifikasi dan simulasi ke lapangan untuk penerapan materi yang telah diberikan.

Reporter    : Adjie Pratomo Amry

- Advertisement -

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles