Si Pensil Baru dan Aku

- Advertisement - Pfrasa_F
(Ilustrator/Muhammad Tri Rahmat Diansa)

Penulis: M. Rio Fani

Kala itu, aku tengah duduk menjadi mahasiwa baru di salah satu universitas Sumatera Utara. Tak disangka, awal belajar daringku justru ditumpukkan dengan berbagai macam tugas perkuliahan. Mulai dari meneliti tugas lapangan, mengumpulkan riset dari para ahli tentang makna psikologi, dan mencari solusi dari kumpulan masalah yang terjadi.

Ah, aku pun sedikit mengeluh dengan ramainya problematika hidup yang dianggap memberatkan. Di kamar minimalis yang bertengger banyak prestasi non akademik, aku semenit mencoba untuk merenung. Tak lama, ibu datang tanpa mengetuk pintu kamarku.

“(Duk) Hei, jangan banyak melamun. Anak gadis kok seperti telur gulung gosong, asem ngelihatnya,” ucap ibu yang tiba-tiba menepuk bahu sebelah kananku.

“Kenapa? Banyak beban hidup? Hahaha,” tanya ibu dengan bercanda sambil mengelus kepala ku secara acak. Setelah itu, aku menatapnya dan hanya bisa menganggukan kepala dengan wajah cemberut. Tanda risau.

“Ehh, Ibu. Ini banyak tugas, bingung mau ngerjain yang mana,” balas ku dengan keluh dan tertunduk.

Kemudian, ibu tiba-tiba meminta kontak pensilku yang baru saja kubeli beberapa waktu lalu di toko Pak Ucok. Ibu mengeluarkan pensil yang belum diraut alias masih baru. Diletakkannya pensil itu ke atas meja belajarku. Disorotkannya lampu belajar ke arah pensil tersebut. Tentu aku pun merasa heran dengan yang dilakukan ibuku. Ternyata ibu mengajarkan satu hal penting kepadaku.

“Posisi kamu saat ini ibarat pensil. Kalau tidak diraut dengan pisau yang tajam, ia tidak akan bisa digunakan untuk menulis ataupun mencapai sesuatu yang kamu sebut cita-cita. Jadi, sama seperti kamu. Kalau hari ini kamu tidak belajar, tidak ditempah dengan berbagai permasalahan, tugas, dan cara menyelesaikannya. Kamu tidak akan bisa berguna bagi orang lain, terutama bagi diri kamu sendiri,” kata ibu sambil tersenyum ke arahku.

Aku pun sejenak terdiam. Hatiku mulai terbang melayang ke langit-langit semangat dan angkasa kebahagiaan. Kuucapkan, “Terima kasih Ibu,” kataku sambil memeluknya dengan sedikit air mata yang membasahi pipi.

Ibu pun mengangkat wajahku. Dibasuhnya air mata yang jatuh dari kedua mataku. “Sudah, kamu harus tetap semangat. Ini baru mulai jadi mahasiswa, masa mau menyerah. Bukan itu yang Ibu ajarkan,” katanya lembut, dan kembali membuat diriku melayang. Betapa bersyukurnya aku bisa dipertemukan dengan sosok sepertinya, pikirku.

Ibu lalu mencubit pipiku yang tembem. Dianggapnya aku anak gadisnya yang masih mungil dan dipeluknya kembali aku. “Ibu tidak menyangka, kamu sudah sebesar ini ya. Belajar dewasa ya Nak,” ucap ibu melalui bisikan ke kuping kiriku.

“Iya Ibu, terima kasih. Mungkin kalau ayah melihat ini, dia akan tersenyum dan ikut memeluk kita Bu. Semoga Ayah bahagia di alam sana ya,” ucapku dan kami pun berhenti memeluk. Setelah ibu keluar, momen itu menjadi peristiwa bahagia yang pernah aku rasakan. Hingga kini, aku akan terus belajar untuk tidak mengeluh, bertahan, dan tidak menyerah dengan segala keadaan. Demi aku dan ibu yang selalu menyemangatiku.

Editor: Khairatun Hisan

- Advertisement -

Share article

Latest articles