Rasyid Bukan Untukku

- Advertisement - Pfrasa_F

Oleh : Maryanti*

Pagi itu, bertepatan pada tanggal 10 November Dia wisuda. Aku memanggilnya Rasyid, orang yang mampu singgah di hatiku. Selama ini memang belum ada seorang lelaki pun yang mampu menggoyah hatiku, apa lagi mangkal, namun berbeda dengan Rasyid. Aku merasa nyaman saat berada di dekatnya entah apa yang membuatku jatuh hati padanya begitu juga sebaliknya. Rasyid memang belum pernah mengungkapkan perasaannya padaku, meski demikian aku melihat jelas pelangi cinta melingkar indah di mata beningnya. Sejak SMA Aku bercita-cita tidak berpacaran hingga menikah, Aku rasa dia juga tahu itu.

“Selamat wisuda…. ,“ ucapku sembari menyodorkan seikat bunga pada Rasyid.

Rasyid mengajakku berfoto dengannya dan Aku mengiyakan. Jepretan kamera menangkap wajah kami di depan papan bunga. Di sudut papan bunga Ibu Rasyid memperhatikanku, “Astaghfirullah..” teriakku dalam hati. Aku tidak menegur keluarganya Aku malu pada diri sendiri, ingin rasanya Aku berlari saat itu namun tak mungkin. Kesal berbalut malu menyerang diriku. Hatiku mencaci maki diri sendiri, teriak meronta-ronta ingin mengulur waktu.

“Itu, orang Aceh ya?” tanya Ibu Rasyid pada suaminya. Suaminya tidak menjawab dan Aku menanyakan yang dimaksud ibu itu.

“Yang mana bu?” tanyaku lembut. Ibu itu memalingkan muka dan tidak menunjukkan orang yang dimaksudnya tadi. Di situ Aku merasa malu, Aku mengalihkan pandangan pada Rasyid yang tengah sibuk berfoto dengan kawan-kawannya. Aku merasa asing, merasa bodoh, dan malu. Dimana akhlak mulia yang selama ini kumiliki? Mengapa engkau menghilang hari ini? Tanya dalam hati.

Uda Kamu salamin ibunya?” tanya Ina, sahabat satu kostku. Pertanyaan itu semakin menyayat hatiku, rasa malu dan sesal membumbung tinggi dalam diri. Ibunya pergi tanpa pamit padaku. Lagi-lagi rasa bersalah karena tidak menyalaminya kembali menghantui pikiranku.

3 tahun kemudian, masa wisudaku tiba dan Rasyid telah menyelesaikan S2nya di Jakarta. Sepekan lalu ia menelponku dan mengatakan akan mengkhitbahku bulan ini. Aku setuju dengan pinangannya, mengapa tidak? Hanya Rasyid yang mampu sinngah di hatiku

“Bagaimana dengan Ibu? Apa ibu sudah tahu mas akan melamarku?” tanyaku tersendat

“Belum, mas mau buat kejutan untuk ibu,” jawabnya pelan.

Usai menutup telepon mulutku mulai berkomat-kamit melantunkan doa pada Allah agar ibunya bisa menerimaku menjadi menantunya. Pascawisuda Aku kembali ke Aceh, kota kelahiranku. Tampaknya doa-doaku belum dikabulkan Allah. Ibunya tetap saja tidak suka padaku, ia selalu mengungkit-ungkit ketidak sopananku 3 tahun silam. Ini adalah kejutan yang tidak ku inginkan, namun Aku sadar Mas Rasyid terlalu baik untukku, sifatnya yang pendiam memancarkan kesantunan jiwanya. Aku juga teringat Firman Allah dalam surah An-Nur, “Bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik”. Mungkin, kami memang tidak di gariskan berjodoh ketidak restuan Ibu Rasyid yang menjadi bukti nyata dari Allah.

***

Sudah dua bulan ini Aku berbenah diri, mulai dari merubah sikap, berbicara lembut dan sopan, selama itu pula Aku merasa tentram.

Assalamu’alaikum, ucap suara bergerombolan dari luar.

“Wa’alaikumussalam” jawabku sembari membukakan pintu.

Aku heran melihat wanita separuh baya tersenyum manis melihatku, ia menanyakan kabar ibuku. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Ibu tiba-tiba keluar dari dapur, mereka saling berjabat tangan dan berpelukan. Aku makin heran melihat tingkah wanita paruh baya itu. Ibu menyuruhku membuat minuman sebanyak 4 gelas untuk tamunya dan aku pun menurut. Namun, Aku heran. “Mengapa ibu menyuruhku membuat 4 gelas? Tamunya kan cuma satu?” tanya dalam hati, aku cepat-cepat menepisnya. 4 gelas teh manis yang ku buat dengan cinta telah berdiri di atas nampan sederhana, Aku membawanya menuju ruang tamu dengan hati-hati, betapa terkejut diriku melihat seorang lelaki berparas tinggi duduk di samping wanita paruh baya tadi. Aku sama sekali tidak mengenalnya, ia menundukkan kepala dengan wajah memerah seperti orang gugup. 2 gelas telah ku letakkan untuk ibu dan wanita paruh baya itu, saat giliran lelaki itu, tehnya tumpah mengenai punggung telapak tanganku. Sontak Aku mengaduh dan lelaki itu berlari keluar menuju mobilnya, entah apa yang ia lakukan Aku tak tahu, ia kembali dengan membawa obat luka bakar. Wanita paruh baya itu yang mengoleskan obatnya ke tanganku. Olesannya lembut, sangat lembut. Tiba-tiba lelaki paruh baya masuk ke ruang tamu, dan lagi-lagi Aku tidak mengenalinya. Lelaki itu langsung angkat bicara.

”Saya Zuhdi, ayah dari Fuad Habib dan ini adalah ibunya, Kami ingin anak Farida ini menjadi anggota keluarga kami, mendampingi Fuad hingga detik akhir, sudah lama kami ingin datang kemari, namun ibumu menghalangi. Katanya kamu belum siap, dan ini kami menanyakan apakah nak Farida sudah siap dan bersedia?” tanyanya penuh harap

Aku mengangguk pelan, menandakan setuju. Hati yang menuntun sehingga Aku mengiakannya. Sejurus, Fuad berlari menuju ruang sholat melakukan sujud syukur. Melihat tingkah lakunya, Aku yakin bahwa Fuad adalah lelaki yang baik, sedikit bayangan wajah Rasyid mulai memudar dari ingatanku.

***

Akad nikah telah usai, kini Aku telah halal untuk Fuad, rasa cinta mulai kulabuhkan sepenuhnya untuk Fuad. Suamiku sosok lelaki tampan berhati lembut, sifatnya memang mirip seperti Rasyid. Aku menyebutnya Rasyid nomor 1, namun ia bukanlah Rasyid. Seminggu pasca pernikahan ibu mertuaku masuk rumah sakit, mungkin karena kelelahan melayani tamu-tamu di pesta kami. Ibu dirawat di rumah sakit terdekat di kota kami, Aku dan Mas Fuad menginap di sana menemani ibu. Tanpa sengaja, sosok wanita yang tidak asing masuk ke dalam kamar kami. Wanita itu ibunya Rasyid ia memeluk erat ibu mertuaku, buliran bening mulai berjatuhan dari kelopak matanya yang sudah mulai berkerut.

“Kamu beruntung Jah, dapat menantu yang perhatian, takdirmu memang selalu baik. Tidak seperti diriku, punya menantu tak peduli pada mertuanya. Sudah dua minggu Ayah Rasyid masuk rumah sakit, belum pernah sekali pun ia menjenguknya,” ratap Ibu Rasyid pada ibu mertuaku.

“Yang sabar Bu, mungkin Istri Rasyid kurang sehat,” ucapku menghibur.

“Andai waktu dapat diundur kembali, Ibu pasti milih kamu jadi menantu,” celotehnya.

“Mas Rasyid bukan untukku bu, dia bukan jodohku, Tuhan yang menentukan segalanya kita hanya menjalaninya bu,” sahutku lembut.

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles