Perempuan dan Stasiun Kereta Api /1

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrasi: Lelya Hilda Amira Ritonga

Penulis: Rizki Audina

“Aku mencintaimu, Azalea.” Satu kalimat yang hingga detik ini membekas erat di hatinya.

***

Saban hari, seorang perempuan selalu duduk di kursi tunggu stasiun kereta. Entah menungu apa ataupun siapa. Aku sudah memperhatikannya hampir dua bulan belakangan ini. Dia selalu memakai baju warna putih dan hijab warna biru langit, badannya kecil, wajahnya manis, tetapi kantung matanya tebal, bahkan tidak ada lengkung sabit di bibirnya.

Dia tidak peduli pada riuh di sekitarnya. Pada orang-orang yang berlalu lalang, pedagang asongan yang menjajakan dagangannya, juga anak kecil yang merengek minta dibelikan jajanan. Dia hanya duduk, kemudian menunduk. Dan akan menegakkan kepala jika ada kereta yang datang. Matanya liar berputar, seperti mencari sesuatu. Ketika yang dicarinya tidak ada, maka ia akan menundukkan kepalanya kembali, begitu seterusnya.
Aku yang penasaran, akhirnya memutuskan untuk bertanya. Tanpa permisi, aku langsung saja duduk di sampingnya. Dia mengangkat kepalanya, melihat ke arahku, lalu terkejut.

“Siapa kau?” katanya seraya menjauhkan diri.

“Tenang, tenang. Aku Samudera, aku tidak berniat jahat padamu.” Ucapku mencoba menenangkannya, agar dia tidak takut padaku.

“Lalu, mau apa kau?” tanyanya lagi, sepertinya dia masih takut.

“Ah tidak, aku hanya ingin bertanya. Sudah dua bulan belakangan, aku selalu melihatmu duduk di sini. Tapi kau tak pernah naik ke dalam kereta mana pun. Kau, sedang menunggu seseorang?” tanyaku langsung pada intinya.

“Bukan urusanmu.” Jawabnya ketus, kemudian berlalu meninggalkanku.

Dia pergi, sepertinya hendak pulang. Kulihat jam yang melingkar di tanganku, ternyata sudah jam sepuluh malam. Dan akhirnya, aku harus kembali menahan rasa penasaranku. Mungkin lain kali aku bisa bertanya lagi.

***

“Semesta, katakan pada langit biru. Jangan pergi dan tinggalkan aku. Aku takut pada gelapnya langit malam. Semesta, ajak langit biru pulang. Aku menunggunya.” – Azalea –

Aku menemukan secarik kertas berwarna biru yang berisi kata-kata itu. Azalea, mungkin pemilik kertas ini bernama Azalea. Kubaca ulang kata demi kata, ah, sepertinya perempuan pemilik kertas ini sedang sedih sebab ditinggalkan oleh kekasihnya.

Namaku Samudera, lagi dan lagi aku berada di stasiun kereta api. Kuedarkan pandanganku ke sekitar, mencari sosok perempuan kemarin, tapi tidak ada. Mungkin dia belum datang, yasudahlah, toh tidak terlalu penting. Hanya sekadar memenuhi rasa penasaranku saja.

***

Aku menaiki kereta dengan jadwal keberangkatan pukul 17.40 ke Jogja, masih ada waktu lebih dari dua puluh menit lagi untuk kereta api itu sampai. Kududukkan diriku di kursi tunggu, kuambil novel yang ada di dalam tas, membaca adalah salah satu caraku untuk mengusir rasa bosan. Belum ada satu bab kuhabiskan, tiba-tiba ada yang duduk kelang dua kursi dariku.

Rupanya perempuan yang kemarin, duduk menunduk seperti kebiasaannya. Hari ini dia memakai baju hitam dengan jilbab biru langit. Kontras dengan warna kulitnya yang putih. Entah kenapa pandanganku tak bisa lepas darinya. Rasa penasaranku masih ada, tetapi aku lebih ingin memperhatikannya dalam diam.

“Sabiru, berapa lama lagi aku harus menunggu? Tidakkah kau ingin pulang padaku yang kau sebut rumah?” aku mendengar apa yang dikatakannya, walaupun suaranya berbisik-bisik.

“Sabiru, hari ini tanggal 15, tepat tiga tahun lalu kita berpisah—kau tinggalkan aku dengan janji-janji semu. Hari ini pula kupasrahkan semuanya, jika kau tak juga pulang, biarlah aku menyerah. Ternyata, aku bukanlah rumahmu, dan kau juga bukan rumah bagi segala resahku. Sabiru, aku sudahi semuanya.” Begitu besar cinta perempuan ini. Apa yang dimiliki lai-laki bernama Sabiru itu hingga mampu membuat perempuan manis sepertinya menunggu bertahun-tahun?

Tepat saat tanya-tanya itu berkeliaran di kepalaku, kereta api pun datang. Aku harus pergi. Sebelum memasuki gerbong, kusempatkan untuk melihatnya sekali lagi, dia sedang sibuk mencari, ya, kurasa lagi dan lagi ia tak menemukannya. Dengan langkah yang berat, dia meninggalkan stasiun.

Editor: Cut Syamsidar

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles