Kau, Aku dan Sekantung Takjil Penawar Rezeki

- Advertisement - Pfrasa_F

 

Foto : www.google.com
Foto : www.google.com

      Lampu trotoar pinggir jalan mulai meredup satu per satu. Pedagang pinggir jalan pun terlihat berkemas merapikan jualan mereka dan bergegas meninggalkan lapaknya. Tak tahu kemana mereka akan pergi setelah ini, langsung pulang menemui keluarga mereka, atau pergi ke tempat biasa mereka kunjungi pajak kopi yang berada di ujung jalan untuk makan dan minum sekedar menghibur diri menghilangkan penat akibat bekerja seharian penuh.

       Genap 30 Sya’ban, hilir-mudik pemandangan yang sudah biasa dilalui di tengah kota metrapolitan seperti Jakarta. Jiarah kubur, mencari pangir, bermaafan, kebiasaan yang lumrah dikalangan masyarakat saat bulan Ramadhan tiba.

     Biasanya Rahim, mahasiswa semester akhir yang memutuskan untuk belajar di universitas yang terbilang besar seperti UI (Universitas Indonesia) menghabiskan waktunya di kampung halamannya. Sekedar menjualkan pangir hasil racikan ibunya di pajak tradisional kampungnya. Namun kali ini Rahim lebih memutuskan untuk menetap di Jakarta mencari kehidupan sendiri selama bulan Ramadhan, terlebih ongkos tiket yang tiba-tiba melonjak di sebabkan bulan Ramadhan yang semakin dekat.

       Tut-tut, tiba-tiba saluran telepon ibunya terpurtus, mungkin pulsanya habis atau jaringan yang lelet. Sebelum sempat Rahim menjawab kepulangannya yang terlambat bulan ini, dan menayakan keadaan bapaknya yang tiba-tiba saja sakit. Namun Rahim tidak terlalu khawatir, dia menganggap bahwa ibunya adalah jelmaan malaikat, paham yang dibutuhkan keluarganya.

       Bulan ini memang terasa penat, ditambah ujian semester yang kian dekat. Uang bulanan yang kian hari menyusut membuat Rahim terpaksa mencari tambahan sendiri agar tidak merepotkan keluarganya. Menjadi seorang pelajar di kampung orang memang satu hal yang lumrah dikalangan anak muda seusianya, namun Rahim yang tidak pernah mengira akibat desakannya untuk tetap berkuliah akan membahayakan nasib keluarganya sendiri, membiayai keuangannya di kampung orang lain bukanlah hal yang mudah, ditambah lagi kebutuhan adik-adiknya yang masih belia.

“Hei Rahim, jualan takjil yuk,” tanya Rudi sahabat Rahim selama di panti tempat mereka diasuh dulu

“Serius kamu Rudi, aku juga lagi butuh uang,” sahut Rahim sambil menatap Rudi penuh semangat

“Iya him, tapi bukan punya aku, punya Bude panti,” jawab Rudi

“Ah, gak penting punya siapa, yang penting kita ada kegiatan selama bulan Ramadhan,” jawab Rahim

“Oke, berarti besok kita harus ke panti,” Bude Rusni pasti sudah menunggu, mereka sepakat sambil tersenyum.

    Seminggu Ramadhan berlalu. Siapa yang tidak mengenal Jakarta, kota metropolitan dengan segala jenis kontropersinya membuat siapa pun pasti ingin mengunjunginya, walau sekedar duduk di pinggir monas, menikmati suasana Ancol yang asri dan mengelilingi Tanah Abang yang penuh dengan pernak-pernik yang membuat siapa pun pasti tergiur untuk.

        Suasana bulan Ramadhan menjadi satu peluang rezeki bagi pedagang perempatan jalan untuk menjajakan takjil hasil buatan mereka. Setengah jam lagi waktu berbuka tiba, lantunan ayat suci alquran mulai terdengar dari segala penjuru masjid. Mobil para pegawai yang baru selesai bekerja siap melaju untuk pulang menemui keluarga mereka sekedar berkumpul dan berbuka puasa bersama. Rahim yang memutuskan untuk membantu Rudi menjajakan jualan Bude panti asuhan tempat mereka menumpang, tampak repot melayani pelanggan yang ingin membeli.

“Es buah, gorengan, mie juga ada bu,” jerit Rudi dengan ramah pada pembeli.

“Rudi, nanti kalau jualannya ada tersisa jangan dimakan dulu ya!” Perintah Rahim pada Rudi

“Sip,” jawab Rudi yang merasa paham kemana sisa jualan akan diberikan

“Tapi kita tidak akan dapat jatah ni?” sambung Rudi bercanda

“Tidak apa-apa, kita minta saja sama Bude nanti pasti dikasi,” lirih Rahim sambil tersenyum.

     Pukul delapan, Rudi dan Rahim berkemas merapikan meja dan kursi dagangan mereka. Area jalan raya yang terasa lengang dari situasi macet membuat para pedagang lainnya pun ikut bergegas meninggalkan tempat dagangan mereka dan pulang.

      Kebiasaan Rahim dan Rudi selama bulan ramadhan. Sahabat sejoli yang memiliki nasib serupa. Kesulitan memang mengisi relung batin Rahim, namun keinginan agar tetap memberikan sekantung jualan mereka pada anak panti asuhan tempat mereka menetap bebrapa tahun silam membuatnya semakin kuat menghadapi teriknya kehidupan.

      Rahim bergegas menuju panti. Petugas panti yang tidak mengizinkan siapa pun untuk berkunjung ketika malam kecuali Donatur, membuat Rahim terpaksa diam-diam meletakkan makanan di depan gerbang sementara Rudi sigap mengawasi petugas panti.

       Tak ada yang memilih hidup susah, namun semua adalah takdir, yang meski sulit harus tetap dijalani. Berbagi adalah penawar rezeki bagi Rahim, menganggap bahwa hidup hakikatnya memberi sebanyak-banyaknya dan bukan menerima sebanyak-banyaknya.

Penulis            : Siti Arifahsyam

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles