Hati yang Beku

- Advertisement - Pfrasa_F

hati-beku

Oleh: Rahmi Irada Lubis

“Lelaki seperti apa lagi yang kamu mau La?” Tanya Andi dengan nada tinggi. Tampaknya Andi mulai kesal terhadap adiknya. Rasanya wajar ia bersikap seperti itu. Rasa khawatir yang mendorongnya benar-benar tegas kali ini. Namun Lila hanya diam seribu bahasa. Tidak ada niat sedikit pun bagi gadis berusia 35 tahun itu untuk membangkitkan amarah Andi.

“Arman, dia lelaki yang baik, dari keluarga yang baik-baik. Dia memiliki pekerjaan yang bagus La, alasan apa lagi?” Tanya Andi terus menyerbu Lila. Lila masih saja terdiam, tidak membantah sama sekali.

“Kamu dengar perkataan Abang kan La? Jawab La?” Andi mulai merendahkan suaranya.

“Iya Bang, Lila tau, Mas Arman lelaki yang baik. Seharusnya tidak ada alasan bagi Lila untuk menolaknya,” jawab Lila akhirnya.

“Lalu?” Andi menatap Lila lekat.

“Apa karena Arman seorang duda dan telah memiliki anak?” lanjut Andi.

“Bukan Bang, sama sekali bukan karena hal itu,” tegas Lila.

“Lalu apa?” Andi benar-benar tak habis pikir. Lila kembali terdiam, tak tau harus mengatakan apa. Keduanya terjebak dalam pikiran mereka masing-masing. Malam itu menjadi kian terasa pekat. Andi menarik napasnya dalam-dalam, dan meninggalkan Lila seorang diri. Lila tak dapat berbuat apa-apa. Ia pun merasa kecewa pada dirinya sendiri, lebih dari kekecewaan yang Andi rasakan.

Lila membenarkan semua perkataan Andi. Seharusnya tak ada alasan lagi baginya untuk menolak Arman, lelaki yang dijodohkan dengannya. Arman lelaki yang baik, sama seperti lelaki yang sebelumnya pernah dijodohkan dengannya. Arman bukan lelaki pertama yang sengaja dikenalkan oleh Andi padanya. Maklum saja, usianya kini telah menginjak 35 tahun. Bagi seorang wanita awam, usia itu sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga. Itulah yang Andi mau. Lila segera menikah dan membina rumah tangga.

Bukannya Lila tidak ingin menikah. Ia hanya seorang wanita biasa yang memiliki impian tentang sebuah pernikahan. Impian yang telah lama ia rancang dan ia bayangkan. Namun impian itu kini telah terkubur dalam. Tak banyak orang yang tau, tentang hatinya. Hati yang terlanjur beku. Baginya, pernikahan itu telah berlalu, terkubur bersama impiannya yang hancur. Lila bukan wanita yang lemah dan gampang terluka. Karena dia begitu hebat lah, sehingga sampai saat ini ia dapat bertahan.

Pernikahan yang ia inginkan, seharusnya terlaksana sejak 10 tahun yang lalu. Saat ia merancang kebahagian dengan lelaki yang ingin dinikahinya. Lelaki itu bernama Fahmi. Seorang lelaki yang menjanjikannya kebahagiaan. Namun sayang, janji itu tak dipenuhinya. Fahmi justru menghilang tanpa jejak, seolah hilang ditelan bumi. Selang setahun tanpa kabar dan berita, Lila akhirnya mengetahui bahwa Fahmi telah menikah dengan wanita lain. Lila benar-benar terluka kala itu. Tapi ia tak mau menyalahkan siapa-siapa, termasuk Fahmi. Hanya saja, kini ia belum bisa mencairkan hatinya kembali.

“Kamu itu sebenarnya kenapa si La?” Fitri menghampiri Lila dalam kamarnya. Fitri cukup tau kekhawatiran yang dirasakan suaminya terhadap Lila. Terlebih lagi, Lila sudah dianggap sebagai adiknya sendiri.

“Maafkan Lila Kak. Lila nggak bermaksud untuk menyusahkan Abang dan Kakak,” ujar Lila sedih.

“Bukan begitu La, Abangmu sangat menyayangimu dan dia ingin melihatmu bahagia. Memiliki keluarga sendiri, melahirkan anak-anak dari rahimmu. Apa kamu tidak menginginkan hal itu?” Fitri menggenggam tangan Lila. Ia ingin sekali memahami kegelisahan yang Lila rasakan.

“Tentu saja Lila ingin Kak, tapi bukan sekarang,” Lila meneteskan air mata.

“Kalau bukan sekarang, kapan La? Sampai kapan kamu seperti ini?” Fitri mencoba memastikan.

“Sampai Lila benar-benar merasa menemukan orang yang tepat Kak,” Lila meyakinkan Fitri. Yah.. orang yang tepat bagi Lila, ia percaya ada. Lila akan tetap menunggu orang itu, yang akan mencairkan hatinya yang terlanjur beku.

 

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles