Duka Berubah Warna

- Advertisement - Pfrasa_F
Foto : Google
Foto : Google

Oleh: Maryanti Hasugian*

Pagi itu, saat ijab kabul Aku datang ke pesta pernikahannya, suasana terasa gelap bagiku meskipun matahari dari ufuk timur menyinari Desa Sibungke. Kampung halaman sahabatku, Fiya itu nama panggilannya.Hari itu tiada canda di antara kami. Air mata menganak sungai di dataran pipiku dan pipinya.Fiya teman sekelasku di pesantren akan pergi meninggalkanku. Tiada lagi wujud Fiya di sana, hanya nama dan jasanya yang tak pudar dari dalam hatiku.

“Saya terima nikahnya Fiya binti Halim dengan…”

Suara itu menghentikan isak tangisku begitu juga dengan Fiya. Kini dirinya telah resmi menjadi istriSofyan Hamadi, lelaki yang sebelumnya tidak dikenalnya bahkan belum pernah bertemu sama sekali.Fiya gadis cantik yang seumuran denganku menikah di usia 17 tahun. Aku ingin berontak pada Paman Fikri, orang yang menjodohkan Fiya dengan lelaki berusia 28 tahun itu. Namun Aku sadar tak mungkin melakukannya, toh Fikri itu Pamannya sekaligus bisa jadi walinya. Sejenak, semua bayangan di pesantren muncul di ingatanku. Masih teringat jelas saat Fiya menungguku hendak mengaji dengan membawa kitab kuning dalam pelukannya. Seminggu sebelum pernikahan, Fiya bertanya pada Ustad tentang pernikahan. Aku mengejek dan menertawainya, Aku tidak tahu kalau Dia telah dijodohkan Pamannya dengan adik angkat istri Pamannya.

“Ustad. Bagaimana hukumnya jika seorang anak perempuan dijodohkan ayahnya tapi sang anak belum mau menikah?,” tanyanya serius.

“Anak perempuan wajib menuruti orang tuanya, apalagi jika perempuan itu masih gadis, kalau perempuan itu janda tidak bisa dipaksa,” jawab UstadNashri.

“Hmmmm….,” serentak kami mengejeknya.

Fiya diam saja, Dia memang tidak banyak bicara,Aku menjulukinya wanita pendiam berhati lembut. Lagi-lagi bayanganku dibuyarkan, kali ini yang membuyarkan adalah mertua Fiya.

“Dua hari setelah pernikahan, kami akan memboyong Fiya ke Pekan Baru,” ucap mertuanya memanasiku.

”Oh, iya Bu. Sudah menjadi hak milik,” jawabku kesal.

****

Pasca pernikahan, mertuanya memenuhi janjinya. Ia diboyong ke Pekan Baru oleh suami yang tak dikenalnya itu, di sana Fyan telah menyiapkan rumah untuk Fiya sejak Ia masih lajang. Aku kembali ke pesantren setelah libur, kebetulan akad nikahnya 2 hari setelah Idul Adha, seperti biasa pesantern kami memang selalu libur saat memperingati hari-hari besar Islam. 1 tahun kemudian, Fiya kembali ke Sibungke. Silaturrahmidengan keluarga, Fiya menyempatkan diri berkunjung ke pesantren tempatku mengaji saat ini. Fiya memasuki pintu gerbang dengan menggendong bayi mungil, kulitnya putih seperti Fiya.

“Iyan di mana?,” tanyanya pada santri wati

“Di asramanya kak,” jawab salah seorang santri

Aku sempat mendengar suara ribut-ribut dari luar, saat itu Aku sedang beristirahat dalam asrama. Sontak Aku berlari saat ada yang memanggil namaku.

“Fiya…,” teriakku mengejarnya.

“Iya…Aku kangen!,” ujarnya sembari memelukku.

“Aku juga kangen,”sahutku memeluk erat tubuhnya.

“Udah jadi ibu-ibu yah, kudu taat suami,” godaku.

“Iya, terimakasih nasihatmu dulu Yan,” jawabnya.

“Siapa nama anakmu Fi?,” tanyaku sembari menimang anaknya.

“Bilqis Amanda, panggilannya Bilqis,” jawabnya lengkap

Aku terharu melihatnya, melihat wajah bahagianya saat ini. Bebeda dengan wajah ketika ijab kabul setahun silam. Di mana pelangi duka melingkar di wajahnya, kini duka itu telah berubah warna bahagia.

 

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles