Kisah dalam Bejana

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrasi: Internet

Penulis: Maya Riski

Ada beberapa hal yang tak bisa diungkapkan oleh kata, namun tergambar jelas dalam hati. Entah bagaimana aku mulai merasakan hal itu, bukan hanya di hati, namun juga pikiran, dia berkelana jauh, sangat jauh, membawaku ke alam yang berbeda, yang hanya aku dan imajinasiku yang dapat menemukan tempat itu, dan aku dapat menemukan kamu.

***

“Kau tahu makna sederhana melupa? Mengikhlaskan? Diikhlaskan?,” tanya Arna padaku.

“Tidak,” jawabku datar.

Aku tahu Arna sangat berusaha untuk menyampaikan pertanyaan itu tanpa melukaiku, dan pertanyaan itu yang selalu kudengar setahun belakangan ini. Aku tahu ia sangat berusaha membantuku memahami makna ikhlas, seperti yang ia pahami dan orang lain rasakan mengenai aku. Tapi aku tak merasa kata ikhlas, mengikhlaskan merupakan pilihan yang tepat untuk rasaku dan pemikiranku.

“Kau tahu Rangga anak XII IPA V-A?” Tanya Ira mencairkan kebekuan di antara kami.

“Ya,” jawabku singkat mencoba memperlihatkan bahwa aku sangat antusias dengan ceritanya.

“Dia kirim salam padamu,” ucap Arna riang.

“Oh iya,” jawabku.

Aku tahu Arna kecewa dengan responku, namun aku tak tahu harus bersikap bagaimana menanggapi perkataannya, dan sejujurnya aku tak mengenal setiap sosok yang ia katakan mengirimkan salam padaku.

***

Aku mulai menuliskan cerita tentangku di dalam diary kesayanganku, aku melukiskan hari ini dengan sangat bahagia. Ketika aku terbangun dari tidurku, aku tak tahu bagaimana cara menahan diri, aku mengingat dengan jelas wajahnya, wajah tampan itu menatapku di balik vas bunga kecil berisi setangkai mawar merah yang panjang, bunga itu menghalangi wajahku bertatapan langsung dengannya, namun aku tak merasa masalah, karena bunga itu sedikit menyembunyikan wajahku yang merona.

Tiba-tiba hp ku berdering, dan tentu saja sosok yang kutunggu memberi kabar bahwa ia telah pulang, tanpa berpikir panjang aku langsung berlari meninggalkan kamar dan diaryku yang ternganga.

Hujan langsung mengguyur tubuhku tanpa ampun, namun aku tak merasakan dingin sedikitpun, bahkan tatapan-tatapan heran yang menemani perjalananku, yang aku tahu, aku harus segera ke halte sekarang, secepatnya.

Aku menunggu hp dalam genggamanku berdering, berharap sosok itu memberi kabar, 30 menit, 40, 50, 60 menit, namun tak ada satu pun pesan atau panggilan. Dan tiba-tiba hp Ratna bergetar, tanpa melihat nama penelepon, tangan Ratna yang pucat mengangkat telepon.

“Halo Ardi, kamu sudah di mana?,” tanyanya semangat.

“Ibu! Ibu di mana? Di sekolah? Ibu jangan kemana-mana, aku dan ayah segera ke sana,” tanya si penelepon.

Seketika dirinya memandang sosoknya dari genangan air, dan Ratna terisak.

Bersambung…

Editor: Cut Syamsidar

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles