Ayah, Terimakasih untuk Segalanya /2/

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrator: Mhd. Haris

Penulis: Amelia Pratiwi

Ayah benar-benar memegang ucapannya, dua hari lalu ketika ayah melarang rena untuk tidak mengikuti kegiatan pensi di sekolahnya , rena mengacuhkan larangan itu. Hari ini ketika aku masih berada dikampus ayah menelponku, menyuruhku untuk menjemput disya.

“Halo disya,” sapa ayah dari sebrang telpon.

“Iya ayah, kenapa?” jawab disya.

“Kamu bisa jemput adik kamu kan? Jam kuliah kamu sudah selesai?”

Disya menghelai nafas. “ jarak kampus disya ke sekolah rena jauh ayah. Disya hari ini bawa motor, lagi pusing juga.”

“Kamu jemput adik kamu sekarang. Ayah sama bang kevin lagi sibuk di kantor. Rena harus kamu bawa pulang,” Ucap ayah tak mau di bantah.

Setelah telepon dimatikan sepihak oleh ayah, disya memekik kesal. Rasa pusing dikepala semakin terasa sakit, dan disya belum sempat makan apapun hari ini. Jika dirinya makan sebentar disya takut ayahnya akan semakin marah jika dirinya dan rena belum sampai rumah terlebih dahulu. Diliriknya kantin fakultasnya yang begitu ramai, semua orang mengantri dan itu akan memakan waktu yang lama jika disya makan dikantin terlebih dahulu.

Sesampainya didepan gerbang sekolah, disya melihat rena yang sudah melambaikan tangannya kearah dirinya sambil tersenyum lebar. Rena sudah menunggu di halte. Disya tak membalas senyuman rena, dirinya menyuruh rena segera menaiki motor.

“Buruan naik. Pusing nih kepala aku.” Seru disya.

Rena tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan semangat. Disya juga melihat kilatan bahagia di mata adiknya itu, disya tak mengerti mengapa rena begitu bahagia hanya karena dirinya yang menjemput gadis itu pulang sekolah.

“Rena seneng banget tau kak. Waktu ayah bilang yang bakalan jemput Rena itu kak Disya, kakak tau gak? Rena langsung buru-buru keluar kelas sangking senengnya,” di sepanjang jalan pulang Rena terus berceloteh riang.

Rena memeluk pinggang Disya erat. “ ini pertama kalinya kakak mau jemput rena pulang sekolah, dan pertama kalinya juga aku bisa peluk kakak.”

Disya diam. Hanya mendengar ucapan rena dalam diam. Hatinya menghangat haru ketika Rena mengatakan kata itu. Sejak sekolah menengah pertama Rena dan Disya memang sudah tak kembali akrab ketika ayahnya mulai membedakan mereka berdua. Disya yang memilih untuk menjaga jarak dengan Rena. Dirinya tak mau terus-terusan di salahkan tentang hal yang seharusnya memang bukan salahnya.

“Kamu bisa diam gak sih!” ucap disya kesal.

Mendengar ucapan Rena membuat Disya semakin pusing. Bukannya diam, Rena malah semakin semangat berbicara, cuaca yang terik juga membuat kepala Disya semakin pusing. Kini suara Rena pun samar-samar tak terdengar.

“Rena kamu bisa diam dulu gak? Jangan banyak gerak. Kepala kakak pusing,” kata disya.

Disya berniat ingin berhenti sejenak di jalan, kepala disya terasa sangat berat. Namun sayangnya, saat di perempatan jalan mobil bergerak begitu kencang dan disya tak melihat itu. Mobil itu menabrak motor yang dinaiki disya dan rena. Rena terpental jauh dari jalanan, sedangkan disya tertimpa motornya.

Mereka berdua dibawa kerumah sakit terdekat. Kondisi rena tak begitu parah, rena hanya lecet di sekitar kaki dan tangannya. Sedangkan disya cukup terlihat parah. Kakinya patah, wajahnya terluka dan tangannya begitu banyak mendapatkan goresan. Rena tidak dirawat inap, dirinya menunggu disya sadar. Disya masih belum sadarkan diri, rena semakin khawatir ketika tau bahwa kaki kakaknya patah. Dirinya merasa bersalah, jika dirinya mau menahan untuk tidak terlalu banyak bicara sebentar saja pasti disya tak akan seperti ini.

Dari ujung lorong rumah sakit rena melihat ayahnya berlari dengan wajah pucat diikuti bunda dan kevin di belakang. Rena berdiri lalu memeluk ayahnya, rena menangis dalam pelukkan sang ayah.

“Kamu kenapa? Apa yang sakit?” tanya ayah.

Rena menggelengkan kepalanya. “ rena gak papa ayah. Kak disya kakinya patah.”

“Kok bisa sih kalian kecelakaan?”

“Kak Disya lagi sakit dan rena terlalu banyak bicara, jadi ada mobil lewat kita gak lihat.” Jelas Rena.

“Disya emang gak pernah hati-hati.”kata ayah.

Mendengar ucapan sang ayah membuat kevin kesal. Seharusnya tak ada yang patut di salahkan di sini. Disya juga tak mungkin mau mencelakakan dirinya sendiri. Ayah benar-benar keterlaluan. Kevin memang tidak pernah keberatan jika adik-adiknya terluka dan ia yang akan disalahkan, karena ayahnya bilang ia memang bertanggung jawab untuk semua hal itu. Dari kecil kevin selalu diamanahkan untuk menjaga adik-adiknya jika ayahnya sedang sibuk, dan kevin mengerti hal itu. Ia anak pertama dan memegang tanggung jawab keluarga memang tanggung jawab besar.

“bunda mau lihat keadaan Disya. Kalau kamu mas, masih mau menyalahkan disya atas kejadian ini kamu di sini aja, jangan masuk ke dalam.” Kata bunda.

Setelah mendengar ucapan sang bunda membuat Rena kesal kepada ayahnya sendiri. Rena bukan tidak sadar bahwa dirinya terlalu banyak menimbulkan keributan Di sini. Rena juga tak mengerti mengapa ayahnya selalu bersikap seperti ini.

Ketika Disya dinyatakan sudah sadar, mereka semua berkumpul di ruang rawat Disya. Bunda yang memang sedari tadi setia menunggu Disya sadar kini tengah menyuapi Disya makan. Senyuman manis tak lepas dari wajah bunda, tangannya menyapu keringat di dahi Disya, sesekali kecupan manis ia tuangkan di pipi Disya dengan penuh kasih sayang.

“Lain kali kalau kamu sakit pelan-pelan bawa motornya, ayah panik dengar kabar kalian berdua ketabrak mobil. Untungnya kamu Cuma patah kaki, dan Rena gak kenapa-kenapa,” kata ayah.

Perkataan sang ayah membuat senyum disya lenyap seketika. Disya tertawa hambar, menyeka air mata yang perlahan jatuh akibat ucapan sang ayah. Suasana kamar mendadak pengap dan menyesakkan dada. Tiba-tiba Disya tertawa, lalu menatap sang ayah tajam.

“Iya! Untung Cuma kaki disya yang patah. Untungnya rena si putri kesayangan ayah gak kenapa-kenapa. Untungnya Cuma disya yang hampir kehilangan kaki untuk berjalan, ayah udah lega kan karena yang patah kakinya disya bukan rena. Begitu?” Disya merasa terluka mendengar ucapan sang ayah.

“Bukan seperti itu disya, ayah gak bermaksud begitu. Maksud ayah itu…” sebelum ayah menjelaskan maksud dari perkataannya disya sudah tak ingin mendengarkannya lagi, disya takut ucapan ayahnya akan melukainya lebih jauh.

“Ayah bisa keluar dari ruangan ini, disya mau tidur,” setelah mengucapkan kalimat itu Disya membenarkan posisinya menjadi tertidur membelakangi ayahnya.

Disya menatap sang bunda dengan lembut yang kini tengah melihatnya, “bunda maaf, Disya sedang ingin sendirian.”

Bunda menganggukkan kepalanya lalu tersenyum manis, Disya bisa lihat mata bundanya berkaca-kaca. Disya bisa lihat hati bundanya begitu sakit melihat keadaannya sekarang. Setelah semuanya pergi, hanya Kevin yang tetap berada diruangannya ini, Kevin berjalan mendekati sang adik. Menatap adiknya penuh kasih lalu mengecup kening Disya. Kevin duduk di sebelah Disya, Kevin tau Disya ingin menangis. Matanya memancarkan kilatan kecewa dan terluka, Kevin memegang tangan Disya.

“Seharusnya abang tau apa yang kamu rasakan dari dulu. Maaf ya, abang jarang ada buat kamu. Abang lebih peduli sama rena hanya karena dia adik kita paling kecil. Seharusnya abang juga sadar, kamu juga adek abang yang butuh di perhatikan juga. Yang butuh di dengar keluh kesahnya juga, abang baru sadar. Terakhir kamu ngeluh itu waktu kamu kelas 1 SMP, abang ngerasa kita udah gak sedekat dulu lagi dek. Abang ngerasa kamu udah hilang dari keluarga ini.” Tanpa sadar Kevin menjatuhkan air matanya, lalu kembali berucap.

“Kamu cepat sembuh ya. Abang rindu kita main bertiga lagi. Abang sayang banget sama kamu disya, kalau kamu butuh temen cerita bilang sama abang, jangan kamu simpan sendirian.”

Disya masih diam tak bergeming, Disya enggan melihat wajah kevin. Disya takut dia akan menangis dan tak akan mampu berhenti karena terlalu banyak keluh kesah yang ia pendam sendiri. Ketika kevin meninggalkan ruangannya, disya menghapus air mata yang jatuh. Menatap kearah pintu yang baru saja kevin tutup, dengan pelan disya berujar. “Kalian udah lama kehilangan Disya. Disya udah lama gak merasakan apa itu arti keluarga dan kehangatan rumah.”

Disya memejamkan matanya, mencoba tertidur lelap di dalam kesepian ini. Rasa nyaman menjalar kedalam dirinya. Disya merasa lebih baik jika sendirian.

bersambung

- Advertisement -

Share article

Latest articles