Ayah, Terima kasih Untuk Segalanya /4/

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrator: Mhd. Haris

Penulis: Amelia Pratiwi

Kevin memasuki ruang rawat Disya. Dengan senyum yang merekah, dirinya mengecup kening Disya dan juga Rena. Namun, berbeda dengan kedua adiknya yang terkejut melihat kedatangan Kevin yang mendadak ini, Disya tahu malam ini ia akan ditemani oleh Kevin. Rasa curiga dalam dirinya muncul melihat mata Kevin memerah, seperti habis mengeluarkan air mata. Disya yakin Kevin sudah mendengar obrolan dirinya dengan Rena sejak awal.

“Kata dokter, Disya sudah boleh pulang kerumah malam ini,” ucap Kevin.

Rena menatap Kevin protes, “Kok cepet banget pulangnya sih. Kak Disya baru 6 hari dirawat.”

Kevin terkekeh pelan melihat tingkah Rena yang berlebihan menurutnya, “Kamu tidak senang melihat Kakakmu sudah boleh pulang?”

Rena salah tingkah mendengar jawaban Kevin, “Bukan gitu, Bang Kevin. Rena senanglah, tapi Kak Disya udah gak papa?”

Disya menggelengkan kepalanya lalu tersenyum manis, “Udah gak ada keluhan apapun kok. Tapi emang Kakak harus pake kursi roda.”

“Yasudah, ayo kita pulang,” kata Rena tersenyum senang.

Rena terlalu bahagia mendengar kabar bahwa Disya sudah boleh pulang ke rumah, sampai ia lupa bahwa ia tak ingin kembali ke rumah. Rena cukup bersyukur kini ia dan kakaknya sudah mulai membaik. Setidaknya mulai malam ini Disya sudah banyak tersenyum untuknya.

Rena memperhatikan Disya yang sedang duduk di kursi roda, hatinya menghangat dan gembira. “Rena sayang banget sama Kak Disya,” ucap Rena dalam hati.

Sesampainya di depan pintu rumah, mereka memelankan langkahnya ketika mendengar suara bunda mereka menangis pilu. Kevin dan Disya diam mematung, mereka berdua berpikir apa yang tengah terjadi di dalam rumah sehingga bunda mereka menangis pilu seperti itu. Rena hanya menatap kedua saudaranya bingung, ia tak dapat memikirkan apapun saat ini.

“Kamu gak bisa terus-terusan bersikap kayak gini Mas, aku gak bisa melihat anakku seperti tidak dihargai oleh ayahnya. Aku gak bisa ngelihat Disya sedih, aku gak bisa diam aja Mas. Disya perlu diberi tahu tentang hal ini, pasti Disya akan mengerti. Disya akan mencoba memahami keadaan kita dan Rena. Disya juga anak kita, kamu gak boleh egois.” Kata bunda begitu pilu.

Dari luar pintu rumah, Disya mendengar semua kata-kata bundanya. Mendengar namanya disebut Disya menjadi bingung, ia tak mengerti dengan situasi ini. Dan semakin tak mengerti ketika ayahnya berbicara.

“Aku gak mau buat Disya sedih dan bersalah. Aku juga gak tahu kalau ternyata selama ini Disya merasa aku tidak menyayanginya. Bun, kamu mengertikan mengapa selama ini aku hanya diam dan memendam semua ini.” Rena terdiam, berusaha mencerna ucapan sang ayah.

Dengan tatapan memohon Disya meminta kevin untuk membawanya ke dalam rumah. Disya menatap kedua orangtuanya yang menatapnya terkejut.

“Apa yang harus aku mengerti dan apa yang Ayah pendam sendirian selama ini?” tanya Disya.

Tak ada jawaban apapun dari mulut sang ayah. Disya dibuat frustasi menunggu jawaban itu, “Bunda apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan aku dan Rena, Bunda. Apa yang harus Disya mengerti, apa Bunda….!!”

Bunda terisak pilu dan memeluk disya erat, “Maafkan Bunda sayang. Bunda terlambat menyadari bahwa kamu juga sakit, Bunda tahu kamu selalu merasa sepi meski itu di rumah sendiri. Maafkan Bunda.” Gumam bunda pelan.

Kevin terdiam, dirinya mengetahui segala rahasia itu. Sejak kecil dirinya dipaksa mengetahui hal yang hampir membuat keluarganya kehilangan tawa dan senyum. Kevin ingat semua ini berawal dari kecelakaan 9 tahun silam. Kecelakaan yang membuat sang ayah kebingungan dan kehilangan senyumnya.

“Ayah gak bisa terus-terusan sembunyi dan mencoba membuat kita bahagia padahal Ayah tahu kita semua terluka. Ayah bukan Tuhan yang bisa menghapus kejadian masa lalu. Ayah harus jujur. Ayah udah lelah menyimpan semua ini kan? Biarin Disya dan Rena tahu yang sebenarnya Ayah. Disya sudah terlalu lama terluka melihat perlakuan Ayah terhadap dirinya. Disya bahkan sering berpikir Ayah tak menyayanginya.” Ucap Kevin.

Perkataan Kevin membuat ayah menolehkan pandangannya kearah Disya. Beliau tahu Disya terluka, Disya sulit untuk diraih kembali sejak lama. Tapi dirinya tak tahu jika luka Disya sudah sejauh ini. Disya melihat ayahnya melangkah kearahnya.

Bersimpuh di depan kursi rodanya, Disya melihat ayahnya menangis. Memegang kedua tangannya dan mengecupnya begitu lembut. Disya menatap ayahnya heran, tubuhnya dibuat merinding ketika ayahnya mengecup kedua tangannya. Untuk pertama kalinya disya mengingat ayahnya menangis di depannya.

Berkali-kali Disya mendengar ayahnya mengucap kata maaf. Disya masih diam, membiarkan ayahnya mengatakan maaf yang entah sampai kapan akan berhenti. Mata Disya tak bisa diam untuk tak melihat ke arah adiknya Rena yang kini tengah memasang wajah tak kalah bingung sama seperti dirinya.

“Sebelumnya, Ayah minta maaf sama kamu. Ayah membuat kamu menjadi anak yang merasa terasingkan dari keluarga ini. Ayah sayang sama kamu Disya, sangat sayang. Namun ayah juga gak bisa bersikap biasa saja ketika anak perempuan ayah pernah hampir kehilangan nyawanya.” Kata ayah yang membuat Disya terkejut.

“Siapa yang pernah hampir mati?” tanya Disya.

“Rena hampir meninggal karena kejadian 9 tahun lalu. Jantung rena sempat bermasalah dan dokter bilang jika tidak menemukan pendonor jantung secepatnya Rena akan meninggal. Kamu gak akan inget kejadian itu karena akibat kecelakaan itu kamu hilang ingatan. Ayah bersalah nak, karena masih saja mengingat kejadian itu dan menjadi over protektif kepada Rena.” Ayah menatap Disya terluka, “Ayah gak pernah tahu jika kamu merasa Ayah gak sayang sama kamu. Maafkan Ayah jika kamu selalu disalahkan kalau Rena terluka. Ayah hanya trauma, Ayah hanya takut Rena kembali bermasalah dengan jantungnya. Ayah takut Rena meninggalkan kita semua.” Lanjut ayah.

Disya menatap ayahnya tak percaya, “Tapi Disya juga anak Ayah. Ayah gak boleh terus-terusan menyalahkan diri Ayah juga. Ayah seharusnya bilang sama Disya sejak awal biar Disya gak merasa dianggap seperti ini.”

“Ayah sama Bunda hampir aja kehilangan anak perempuan untuk yang kedua kalinya. Disya sempat berpikir untuk pergi jauh dari rumah ini.” Ungkap Disya membuat sang ayah menggelengkan kepalanya tak percaya.

“Ayah kamu hanya terlalu menyayangi Bunda dan kalian. Ayahmu selalu ingin memberikan yang terbaik untuk semua anaknya. Disya bilang, Ayah tidak menyayangi Disya kan? Disya bilang ingin kuliah di luar negeri bukan? Ayahmu sangat menyayangi kamu Disya. Tahun depan kamu bisa kuliah di luar negeri, kamu gak perlu beasiswa karena ayah yang menanggung semuanya.” Kata bunda sambil memegang kedua bahu Disya.

Disya menatap sang ayah tak percaya, “Gimana Ayah bisa tahu tentang semua ini?”

“Ayah selalu memperhatikan kamu Disya. Saat kamu tertidur, Ayah akan datang ke kamarmu untuk mengecek semua lis keinginamu. Ayah akan melihat semua gambar baju kamu dan gambar kamu yang lainnya. Ayah tidak pernah tidak menganggap kamu. Ayah hanya terlalu takut sesuatu akan terjadi setiap Rena akan pergi dan pulang sekolah. Ayah takut terjadi sesuatu kepada Rena sehingga Ayah gak pernah bisa mendengarkan keluh kesah anak Ayah yang lainnya. Maafin Ayah.” kata ayah membuat Disya terkejut sekali.

Disya pikir ayahnya tak akan melakukan semua itu. Disya sudah salah paham selama ini, kejadian ini juga bukan seratus persen salah ayah. Disya sendiri juga yang membatasi diri dari sang ayah karena terlanjur terluka. Disya tak percaya ayahnya juga sangat menyayanginya.

“Rena bahkan gak pernah tahu kalau jantung Rena pernah bermasalah. Seharusnya Ayah bilang ke Rena agar Rena tidak merasa Ayah begitu mengatur kehidupan Rena,” ucapan Rena membuat Disya kian terkejut.

Ayahnya benar-benar menyimpan segala masalah ini sendiri. Disya tak mengerti hal apa yang dipikirkan sang ayah.

“Ayah tahu, sikap Ayah buat aku dan kak Disya jadi renggang dan aneh. Aku dan Kak Disya jadi suka berpikiran yang aneh sama Ayah. Seharusnya Ayah bilang semua ini biar kita gak saling melukai satu sama lain,” Rena menatap sang ayah kesal.

“Ayah minta maaf. Ayah tahu Ayah salah.” Ungkapan maaf ini membuat hati Disya berdesir sedih.

“Disya gak mungkin bisa membenci Ayah. Ayah terlalu hebat untuk dibenci, maafkan Disya juga Ayah,” Setelah mengatakan hal ini Disya segera memeluk sang ayah.

Kevin tersenyum bahagia melihat Disya dan ayahnya berpelukan. Seharusnya ini yang dilakukan sedari dulu. Kevin tahu ayahnya begitu hebat selama menjadi kepala rumah tangga. Ayahnya selalu memastikan mereka semua hidup bahagia, tapi ayahnya tak mengerti definisi bahagia yang sebenarnya. Ayahnya terlalu banyak memendam rasa sakit dan trauma secara sendirian.

Disya kini mengerti. Tak ada orang tua yang tak menyayangi anaknya. Tak ada orang tua yang ingin anaknya bersedih. Ayahnya sungguh hebat. Disya tak pernah tahu seberat apa beban yang ayahnya pegang sendiri. Disya bersyukur mempunyai ayah yang begitu luar biasa. Kini, Disya bisa berpetualang sebebas mungkin, bisa menghirup udara tanpa berpikir kemana ia akan berteduh. Bisa pergi kemana pun ia mau, tanpa lelah harus berpikir ingin pulang kemana, karena rumahnya kini sudah kembali.

Tamat.

Editor : Yaumi Sa’idah

- Advertisement -

Share article

Latest articles