Bersama RBB, Tanam Si Penjaga Pantai

- Advertisement - Pfrasa_F
Foto: Silvia Marissa

Siang itu begitu terik diluar, rombongan relawan bersama  RBB (Rumah Baca Bakau)  melingkar di teras masjid Dusun 16 Desa Bagan Percut Sei Tuan (25/3).“Ketika menginjakkan kaki di rawa, jleb… lanjutan langkah yang lain jangan menekan lumpur disatu tempat, nanti kayak kejadian waktu itu,” kata seorang relawan yang merupakan salah satu pengurus Rumah Baca Bakau yang akrab dipanggil Kak Ijul sambil melirik  relawan yang bertubuh agak sintal disudut teras, yang sedari tadi sudah menceritakan pengalaman pertamanya menanam bakau.

Setitik was-was dan setumpuk penasaran menuntun langkah kami menelusuri jalanan kering produk kemarau di pesisir pantai yang terbuat dari tumpukkan kulit kerang. Sebuah tembok berbahan bebatuan sebesar kepala, setinggi hampir satu setengah meter berdiri disisi-sisi jalan yang  membatasi tepian muara  dengan jalanan dan tempat penduduk bermukim, sebuah tangga semen memotong tembok yang berdiri kokoh sejauh mata memandang.

Sebuah kapal kecil yang digoda ombak telah diikat ditepian pada sebuah pancang. Langkah kami dikejutkan oleh potongan-potongan papan yang direkatkan sedemikian rupa dengan paku dan kayu menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan tanah licin menuju kapal, dengan sedikit tenaga diujung tungkai dua orang anak kapal meyediakan lengannya untuk pegangan bagi para relawan yang hendak berlayar pergi, ombak-ombak kecil nakal menjilat-jilat tepian kapal yang berayun.

Nyala deru mesin pertanda perjalanan akan dimulai. Seorang lelaki stand bye dengan pengeras suara dipegangannya, ia duduk dengan nyaman disisi luar perahu, menantang panas siang itu. Ia mulai bercerita tentang semua bakau yang berjejer disisi-sisi Muara Bagan Percut Sei Tuan, lelaki itu akrab dipanggil Kak Ari.

Suara Kak Ari beradu dengan deru mesin perahu, sayup-sayup ku dengar dia memperkenalkan jenis-jenis bakau, antara lain bakau biasa atau Rizhopora, bakau api-api, bakau minyak, bakau merah dan jeruju yang beramai-ramai menemani perjalanan kami sejauh hampir 4 KM menyusuri muara, menariknya pohon-pohon bakau tersebut rupanya jadi tempat strategis bagi primata sejenis monyet untuk berayun-ayun, mendapatkan makanan dan tentunya menjadi hiburan tersendiri bagi para relawan diatas perahu, tawa berderai bersahut-sahutan antara satu dengan yang lain, hampir 30 menit perjalanan akhirnya kami pun sampai di kawasan lahan kosong.

Penumpang perahu kemudian keluar turun menuju tanah yang sedikit lebih menggunduk, tidak ada pohon tempat berteduh terdekat. Hanya ilalang dan bakau jenis jeruju yang berduri-duri yang Rumah Baca Bakau sendiri memanfaatkan daun ini untuk diolah menjadi es dawet. Selepas turun dari kapal, pemandangan pertama yang terlihat adalah lahan kosong berlumpur, tersisa diatasnya beberapa pohon sawit hampir tak bernyawa tegak di lumpur hitam. Demi melihatnya saja, relawan sudah berseru heran, “Lahan seluas ini?” aku menggumam. Terselip rasa cemas yang memalukan. Seperti dapat membaca pikiran kami relawan lain yang sudah berpengalaman menyeletuk, “Nggak semuanya kok, beberapa meter dari sini aja,” ucapan Kak Abu salah satu relawan yang tertangkap ditelingaku. Jawabannya melegakan.Setelah hampir sepertiga penumpang berkaos merah turun, perahu melanjutkan pergi mengambil benih di pembibitan, mungkin sekitar 100 meter dari tempat kami diturunkan.

Sementara panas semakin menyengat kulit, hampir sekitar 15 menit kemudian, perahu telah kembali dengan membawa bibit-bibit bakau . Hijau daunnya terlihat samar bercampur lumpur. Mereka yang diatas perahu mengarahkan relawan lain untuk bekerjasama memindahkan bibit bakau yang menurut penuturan Kak Ari masih berumur 3 bulan ini. Harum lumpur semakin dekat kepenciuman, awalnya jemari sedikit segan menyentuh bibit penuh lumpur itu, namun tujuan awal harus tercapai. Kami lekas memindahkan bibit ke sisi lahan kosong.

Akibat panas tak ingin memberi ampun, dan mengingat tujuan utama menanam bakau yang harus tertunaikan. Maka beberapa relawan sudah menerjunkan dirinya ke dalam lumpur, beberapa lagi masih menimbang-nimbang  niat, dan mempersiapkan pakaian untuk bertempur. Mulai dari memasang masker, membuka kaus kaki, melinting celana, tapi jangan heran, banyak juga relawan yang tidak segan-segan menerjunkan kaus kakinya ke dalam lumpur.

Menurut keterangan dari Relawan RBB, bakau yang hendak ditanam tersebut adalah jenis Bakau Api-api. “Setiap orang ambil 5 ya,” kata Kak Ijul. “Polibagnya di lepas, terus kumpulkan, jangan ditanam langsung,” tambahnya mengingatkan.

Menanam bakau si tanaman penjaga pantai ini,  juga bukan tanpa seni. Meski tanaman bakau disepanjang muara terlihat berantakan, bukan berarti menanamnya asal-asalan. Relawan dari RBB mempraktikkan caranya kepada kami. “Pertama buka dulu polibagnya, seperti ini,” aku mempraktikkannya pada satu bibit, terasa sedikit sulit memang. “Begini, tarikkan saja, srekkk….” polibag ditangan Om Deni sudah tanggal dari bibit Bakau. Aku tersenyum melihat praktiknya, dan tak kusangka semangatku mulai naik keatas kepala. Aku tak peduli lagi dengan panas, lumpur dan lain sebagainya, yang harus kulakukan adalah menyusul sahabat-sahabat relawan lain dibawah sana.

Dari atas sana, Om Deni masih memperhatikan cara kami menanam, meski sudah diberi penjelasan sebelumnya, Om Deni tahu bahwa kami masih kaku. “Cucukkan aja pakai kaki,” ujar Om Deni dari atas.

“Pakai jarak ya, 1 meter,” kata Kak Ijul yang sedari tadi sudah terjun lebih dahulu ke dalam lumpur. Menurut penuturannya pohon bakau memiliki akar tunggang sehingga harus ditanam berjarak agar akarnya bisa tumbuh dengan leluasa.

Awalnya memang terasa enggan dan sedikit risih, namun lihatlah salah satu Relawan bernama Kak Ayuk (21) yang awalnya juga merasa risih kini malah dengan begitu bersemangat mencucukkan bibit ke dalam tanah. Bahkan ia menyebutnya dengan Jihad, “Ayo semangat, jihad ini we…jihad,” katanya berapi-api.

Sebelumnya bakau di sekitar pantai Percut Sei Tuan sering mengalami penebangan liar untuk kepentingan pribadi. Namun dengan adanya kegiatan positif dari RBB untuk terus melestarikan bakau, kepunahan dan kerusakan ekosistem pantai dapat ditekan.

“Sampai saat ini di sana masih saja ada penebangan liar, mereka tebangi pohon mangrove untuk dijual nantinya, di sinilah sebenarnya tugas Rumah Baca Bakau  untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar senantiasa menjaga dan melestarikan bakau,” tutur Kak Ari.

Tidak sampai setengah jam bibit yang kami bawa telah tertanam habis di lumpur. Kini tinggal pucuk bibit bakau yang dimainkan angin sepoi-sepoi. Relawan sudah naik kembali keatas. Terselip rasa puas di hati mereka, atau bahkan rasa rindu yang akan membawa mereka kembali kelahan kosong wilayah pesisir pantai Bagan Percut Sei Tuan ini untuk ikut melestarikan kembali pohon bakau si Penjaga Pantai.

Reporter         : Safitri Adriani Nasution dan Siti Rogayah

Editor             : Shofiatul Husna Lubis

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles