Basah-basahan Di Pantai Sasak

- Advertisement - Pfrasa_F

Banyak orang yang berwisata hilangkan penat mereka dengan bersantai dengan angin dan view pantai nan memukau. Hanya saja kebanyakan dari mereka tidak mendokumentasikannya dan membuat perjalanan itu dalam sebuah catatan perjalanan. Namun itu berbeda dengan saya. Setelah saya mengunjungi suatu tempat yang menarik seraya tersenyum lebar kepada alam yang memukau, maka kebiasaan dari saya setelah itu adalah mendokumentasikannya dan mengirimnya ke berbagai ranah berita.

Pada 29 juli 2017 dalam suasana fitrah lebaran ke-4 hari Raya Idul Fitri kemaren, atas usulan salah satu sahabat saya, ia merekomendasikan saya untuk menikmati alunan dawai angin yang berkolaborasi dengan ombak ala tepi pantai. Pantai itu bernama “Sasak”. Terletak di Nagari Sasak Kecamatan Sasak Pasisie Kabupaten Pasaman Barat Sumatera barat. Berjarak sekitar 90 kilometer dari rumah saya di Jorong Tanjung Aro Selatan Nagari Bahagia Kecamatan Padang Gelugur Kabupaten Pasaman Sumatera Barat.

Dari rumah, kami menempuh waktu perjalanan 4 jam saat berangkat dengan kecepatan maksimal 60 km/jam dan 6 jam untuk pulang dengan kecepatan maksimal 40 km/jam. Kami memilih untuk berkendara dibawah 60 km/jam karena ini adalah salah satu cara untuk menjaga keselamatan dalam berkendara. Karena kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada menit-menit selanjutnya. Untuk terhindar dari kecelakaan, maka bisa ditolak dengan berkendara yang taat lalu lintas.

Tempat tinggal saya terletak di antara jajaran Perbukitan yang perkasa, “Bukit Barisan”. Dibalutkan dengan awan-awan yang sering menutupi langit Pasaman siang hingga sore hari. Meskipun terik yang membuat mata silau memandang. Oleh karena kampung halaman saya dipagari oleh Perbukitan Barisan Sumatera yang memanjang dari utara ke selatan dan menutup haluan dari barat ke timur, tentu tidak terdengar suara deburan ombak serta kicauan suara angin pantai.

Dalam suasana lebaran idul fitri yang berfitrah dan hati serta pikiran yang sedang merdeka juga finansial yang belum terancam, maka saya dan sahabat-sahabat saya yang berjumlah 10 orang bertekad untuk segera melintas dan bersahaja ke pantai sasak. Dari Ibu Kota Kabupaten, Simpang Ampek (Simpang Empat) butuh waktu tempuh sekitar 30 menit.

Pantai Sasak memang bukanlan pantai yang tersohor namanya. Bahkan, pantai ini belum harum namanya karena kurangnya peran semua pihak untuk mendompleng namanya. Tidak seperti pantai-pantai di Kota Padang, Pariaman, serta pantai kenamaan  Carocok di Kota Painan Kabupaten Pesisir Selatan. Sebagai Putera Daerah, ini salah satu tugas saya untuk memperkenalkan keelokan daerah tempat saya berpijak.

Rata-rata diantara kami adalah “Anak Mami”. Bukan cengeng, hanya saja masih diawasi begitu dekat oleh orang tua masing-masing. Walau begitu kami tetap membulatkan tekad untuk tetap pergi kesana. Tak ada alasan lagi untuk tidak pergi. Pertemuan diantara kami belum tentu bisa 1 atau 2 kali dalam setahun. Momentum itulah yang namanya kesempatan emas.

Kami berkumpul di rumah saya pada pukul 09.45 WIB baru bisa berangkat pada pukul 11.20 WIB. Dengan menggunakan 5 kendaraan bermotor, saya mulai melihat mimpi yang telah terpendam lama sejak 2016 lalu. satu orang anggota kami saat perjalanan itu adalah masih siswa SMP sekitar kelas VII. Saya tidak menyarankan dia ikut. Sahabat saya yang mengajaknya karena adanya hubungan saudara antara mereka.

Tidak ada tanda-tanda kegagalan dalam perjalanan itu. Atau kemungkinan kecelakaan yang akan kami alami. Kami berkendara beriringan. Cara ini adalah untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya laka lintas.

Kami tiba di Kecamatan Gunung Talamau Kabupaten Pasaman Barat. Mataku seketika tak berhenti berpejam. Di sebelah kiri badan jalan Gunung Talamau yang gagah perkasa dengan puncaknya yang munjulang tinggi serta awan yang seakan bertelur di atas puncak Talamau itu. Gunung itu kayaknya jarang didaki oleh para pecinta alam. Saya tidak melihat aktifitas itu di atas gunung dari tempat saya memandangnya serius.

Berada di garis belakang diantara sahabat-sahabat saya, tak peduli saya kurangi kecepatan motor saya, lalu kemudian saya matikan mesin motor saya dan menggunakan jari saya untuk mengambil foto gunung api yang sedang tidur nyeyak tersebut. Saya sontak melafazkan asma Allah, “Subhanallah”.

Tidak ada kendala apapun dalam ekspedisi itu. Malah lebih memanjakan mata kami dengan panorama alam yang membentang ala “Indonesia Raya” itu. Pun demikian dengan tata kelola permukiman warga yang teratur. Meskipun sepanjang jalan tidak ada kerusakan parah atau berlobang-lobang, dengan lebar jalan yang hanya berkisar 3 meter di beberapa titik, sedangkan kendaraan baik kecil atau besar lalu lalang melintasi jalan berstatus Nasional dan Provinsi itu.

Tibalah kami di Pantai Sasak sekitar pukul 15.08 WIB. Sontak mata saya yang sedikit kabur karena kebiasaan saya beraktifitas di depan layar bercahaya seketika cerah merona dengan varian warna terang ala pantai. Telah disediakan lokasi parkir kendaraan yang cukup luas. Pantainya panjang, pasirnya putih kecokelatan. Serta jajaran pondok-pondok makan bertengger di tepian pantai. Saya bilang harganya terjangkau. Saya katakan kepada sahabat saya, “betul-betul harga mahasiswa nih.” Sahabat saya mengatakan hal serupa karena ia pun juga mahasiswa. Hanya saja sahabat saya ini kuliah di UIN Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru Riau.

Sebelumnya tidak ada niat saya untuk mencepluk ke air asin itu. Saya kurang menikmati air berasa asin. Sedang sahabat-sahabat saya itu ceria berdendang dengan pantai dan ombak, saya sementara sebelum berminat ikut basah-basahan, membuat miniatus istana dan candi-candi adalah kebolehan saya. Pasir yang begitu mudah dibentuk jadi miniatur apa saja itu saya mainkan imajinasi saya untuk membangun sebuah istana. Saya bilang, “istana paradise.”

Mereka dan banyak orang disekitarnya tampak tertawa ceria. Saya masih berusaha menaham nafsu saya untuk ikut digoyang-goyang oleh ombak. sesekali saya mencoba menulis di atas pasir yang kadang disapu ombak.

Ombaknya cukup menantang. Kadang sampai 3 meter. Pantas saja karena pantai itu menghadap langsung ke Samudera Hindia. Kesabaran saya sudah tidak dapat lagi tertahan. Bertahan di tepi pantai sedang ombak merayu bukanlah pekerjaan yang mengasyikkan. Membosankan. Tak pikir lama, saya segera mendekat.

“Suurrrr,” suara ombak yang menggoda. Saya serasa sedang bercengkrama dengan ombak samudera. Terakhir kali saya menimbang berat badan saya adalah 53 kilogram. Saya terombang-ambing.

Saat itu, keberanian saya bertambah 2 kali lipat. Sesekali kami memberanikan diri disapu oleh ombak mengarah ke tengah. Tidak pantang bagi kami. Durasi waktu terbatas sebelum malam menjelang. Ini tentu berbeda dengan ombak pantai Carolina di kota Padang dan pantai Carocok di Painan yang pernah saya kunjungi. Kali ini begitu berbeda. Lebih Villanista (suasana pedesaan). Tapi gak katro.

Sama dengan manusia dunia saat ini pada umumnya, kami yang begitu bersemangat ber swafoto sambil selfi ria. Kali itu benar-benar basah kuyuk.

Waktu istirahat saya gunakan untuk berbagi pengalaman di media sosial yang saya miliki. Seperti di Instagram dan Facebook. Tentu tidak mengandung ujaran kebencian dan isu SARA.

Reporter         : Rahmanuddin

Editor             : Aminata Zahriata

 

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles