Angan

- Advertisement - Pfrasa_F

Oleh: Alfata SW*

“Berapa satu kilo ikannya Mas?,” tanya seorang nenek tua, tangan kanannya menggandeng segoni cup bekas air mineral. Pakaiannya sangat kumuh, wajahnya kusam, sesekali kulit lehernya turun naik, terlihat seperti menelan ludah.

“Dua puluh tiga ribu Nek, mau berapa kilo?,” Raqis tersenyum, dan segera mengambil plastik kuning. Tapi Si Nenek terdiam, bibirnya tiak memberi tanda Ia akan bicara. Perlahan Dia mundur dan ingin bergegas pergi.

Lho Nek, gak jadi beli ikannya?,” tanya Raqis memastikan

“Maaf, uang Saya kurang,” ucap Nenek lemas, dan segera pergi membawa barang-barang bekasnya. Tanpa berpikir panjang, Raqis memasukkan satu kilo ikan ke dalam plastik, sebelum itu dicarinya sendal jepit dekat tumpukan ember. Diperbaikinya kopiah hitam di kepalanya agar berada di posisi favoritnya, (tidak menutupi seluruh rambut). Raqis berlari kecil, dilewatinya jalanan yang nyaris dipenuhi kubangan air comberan bekas sayur-sayuran yang membusuk.

“Nek, ini bawa saja ikannya, gak usah bayar,” tawarnya, tapi sayangnya nenek itu menolak.

“Percuma juga Saya ambil ikannya, Saya tidak punya peralatan untuk memasaknya,” ucap Nenek memelas. Tanpa menunggu lama, Raqis sudah mengerti maksud si Nenek. “Nenek jangan kemana-mana,” ucapnya, Ia lalu berlari kecil menuju rumah makan yang ada di depan pasar.

Siang menjelang sore, para ibu rumah tangga berbondong-bondong membawa tas dan keranjang mereka untuk membeli bahan kebutuhan dapur. Tapi suasana pasar tak seramai waktu Raqis kecil dulu, saat Dia membantu ayahnya berjualan ikan. Keberadaan super market dan pusat perbelanjaan modern membuat pasar tradisional sepi.

“Ini Nek, makan yang banyak yaa,” ucapnya. Nenek tersenyum malu, diambilnya plastik hitam berisikan sebungkus nasi yang diberikan Raqis.

***
Tepat di sudut pintu masuk pasar yang becek dan bau, Kinza menjepit hidungnya rapat-rapat dengan tangan. Kila tertawa melihat reaksi Kinza, sembari menggandeng tangan dan mentitah Kinza agar terhindar dari kubangan yang penuh dengan sayuran busuk.

Kan sudah kubilang, Kamu tunggu di kos, biar Aku saja yang belanja. Terbiasa belanja di mall, belagu mau ikut ke pasar tradisional seperti ini,” ledek Kila.

“Hehe, Aku gak pa pa kok,” Kinza melepaskan tangan yang dijepitkan ke hidungnya, begitu juga dengan rok hitam yang susah payah dijinjingnya untuk menghindari lumpur.

Ini pengalaman pertama Kinza berada di tempat seperti ini, matanya nyaris mengitari setiap sudut ruangan, dan tiba-tiba saja Kinza menghentikan pandangannya pada sebuah ruangan kecil, dimana tempat ikan-ikan berserakan di atas meja, barang dagangannya tersusun rapi dan menjadi satu-satunya tempat dagangan yang bersih dibandingkan dengan tempat dagangan ikan yang lainnya. Matanya fokus pada sosok lelaki muda dengan anak rambut menjuntai dari lobe. Dia Raqis.

“Nza, Nza, Nza,” Kinza tetap saja diam, matanya masih terfokus pada Raqis. Kila berdehem dan menghela nafas. Disentilnya telinga Kinza.

“Aw,” jerit Kinza, mereka pun berlalu meninggalkan pasar.

***
“Ayolah, Kamu lama banget sih,” ucapnya. Tit …tit… suara klakson mobil Kinza meraung.

“Bentar Nza, 1 menit lagi,” Kila masih asyik dengan jilbabnya.

Suasana kampus tampak sunyi, hanya ada beberapa orang mahasiswa yang duduk di halte. Gedung hijau itu seakan menjadi saksi, sekelompok orang dengan baju putih telah ramai dalam ruangan.

Lelaki dengan kopiah hitam yang masih sama, giat dengan apa yang dilakukannya, tidak seperti kebanyakkan mahasiswa yang sedang berfoto ria, Raqis memilih duduk di sudut ruangan, mengeja satu per satu huruf dalam buku yang dipegangnya.

Tuh kan, semua sudah pada kumpul, Kamu ini mau seminar proposal tapi kok santai aja ya?,” ujar Kila semberi menutup pintu mobil.

“Nza, ayo buruan Kamu mau lihat seminarku gak?,” Kila berdiri di depan ruangan seminar menunggu Kinza

“Nza, ya ampun, kesurupan apa anak ini, hobinya melamun,” Kila menarik tangan Kinza memasuki ruangan, suhu badan Kinza turun naik, bagaimana tidak, lelaki yang dilihatnya di pasar sedang menjual ikan sekarang ada di dalam ruangan seminar, betapa terkejut dan kagumnya Kinza.

“Dia itu mahasiswa teladan di kampus ini, namanya Raqis. Yatim piatu, keluarganya meninggal pada kecelakaan pesawat 2 tahun lalu. Hidupnya sangat mandiri, setiap hari Dia ikut pengajian bersama Ustadz Rohim di masjid sebelah kosku. Dia juga menjadi mentor untuk junior yang ingin belajar bahasa Arab,” cerita Kila, matanya masih fokus pada buku panduan seminar.

“Aha, makasi informasinya La,“ Kinza memeluk Kila.

“Hmm, jangan banyak memandang, dosa lho,” ujar Kila

“Siap Ustadzah Kila, kalau pandangan pertama kan rezeki, hehe,” Kinza mengacungkan ibu jarinya, sementara Kila masih fokus membaca proposalnya sambil menunggu gilirannya untuk presentase.

***
Telepon genggam Kinza berdering, Dia segera merabakan tangan ke atas meja yang terletak di samping tempat tidurnya. Kinza menguap terlebih dahulu sebelum mengangkatnya.

“Assalamu’alaikum Nza,” ucap Kila

“Wa’alaikumsalam La, kemek-kemek dong, kan seminar proposalnya berhasil,” Kinza mengambil remote dan mematikan AC

“Hmm, Kamu mau ikutan pengajian dengan Ustad Rohim gak?,” tanya Kila serius

“Apa? Ngaji?. Yee Kamu, Aku sudah khatam Alquran sewaktu SD dulu. Untuk apa ngaji lagi?,” ucapnya. Kali ini Kinza menarik tirai jendela kamarnya, dari luar sinar matahari memancar hingga menembus ruangan.

“Pengajian Ustad Rohim,” gumamnya. Kinza hening sejenak, dan ingatannya menangkap sosok Raqis. Kinza langsung menuju kamar mandi. “Aku ikut La, pokoknya Kamu tungguin Aku ya. Udah dulu ya, sampai ketemu nanti. Assalamualaikum, tit.. tit..” pembicaraan terputus. Sambil melihat layar hp, Kila menggelengkan kepala.

***

“ Mbok, jilbabnya kurang panjang nih,” Kinza mengoreksi busananya sendiri.

Hp berdering, dan Kinza mengabaikannya. “Ahh, si Kila ganggu aja,” gumamnya.

“Pakai yang ini saja Neng kalau mau yang panjang,” si Mbok menyodorkan jilbab kurung yang panjangnya sampai lutut.

“Nah yang ini baru benar Mbok,” ucapnya, Kinza langsung berdiri di depan kaca

Hp kembali berdering dan Kinza kembali mengabaikannya.

“Bismillahirahmanirrahiim,” Kinza mengambil tasnya dan bergegas pergi dan menon-aktifkan Hp-nya

Kila mondar-mandir dari kamar ke ruang tamu, Dia tampak gelisah, sudah hampir setengah jam menelpon, tapi Kinza tidak mengangkatnya. Diliriknya keadaan masjid dari jendela kamar kos, orang-orang sudah ramai berkumpul, kerenda yang dilapisi kain hijau dengan kalungan bunga telah memasuki masjid.

Kinza memarkirkan mobilnya di depan Kos. Dia berlari kecil menuju Kila yang masih mengintip dari balik jendela.

“La, ayoo! Di masjid udah ramai tuh, maaf ya Aku telat,” Kinza menyentuh bahu Kila.

“Hari ini gak ngaji Nza, salah satu jama’ah meninggal dunia,” kata Kila murung

“Siapa?,” tanya Kinza penasaran

“Raqis,” ucapnya lirih. Kila memeluk Kinza, Dia tahu betul bagaimana perasaan Kinza yang mengagumi sosok Raqis.

“Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun,” Kinza langsung terduduk.

Bersyukur. Kinza masih diberi kesempatan untuk melihat sosok Raqis yang sahaja, diam dan penuh hikmah. Terpukul, karena ada yang mengusik nurani Kinza, ada hal yang telah dilewatinya begitu saja dalam hidup yang melupakan ajaran Sang Pemberi hidup. Angan, itulah yang ada dalam hati dan ingatan Kinza, takdir Allah siapa berani menentangnya.

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles