Find The Way

- Advertisement - Pfrasa_F

17961819-river-bank-view-of-the-famous-the-castelvecchio-bridge-in-verona-italy-in-a-bright-sunny-day-with-wh-stock-photoHujan dia mampu menampar benci. Mengurai mimpi lantas meraup segala keputusasaan. Bulirnya lembut menyentuh pipi, bergulir tanpa pasti sampai di ujung dagu. Semua kombinasi itu membuat tenang. Meski hanya dengan cara seperti itulah ketenangan akan muncul.

“Hani…”

Sebuah suara mengundang kuriositasnya. Hani menoleh, sekedar mengurangi rasa ingin tahunya. Siapa pula pemilik suara berat yang repot-repot melisankan namanya.

“Kau tidak pulang?” Belum genap Hani menghela napasnya, suara tadi berganti kalimat. Tak mungkin pula Hani mengacuhkan rentetan kata yang menyuapkan tanda tanya tadi.

“Hujan, bagaimana aku bisa pulang.” Pelafalan datar sama sekali tak membuat minat Hani untuk melanjutkan kalimatnya. Ia kembali memadang lurus ke depan. Disimaknya suara gemuruh hujan tanpa jeda. Dipandangnya  irama air yang jatuh, meski tak ia hitung jumlahnya.

“Benar juga.” Sang pemilik suara tadi hanya mengamini sahutan Hani. Kini sosok jangkungnya menjatuhkan bokong di atas bangku besi memanjang di halte.

Hening. Mereka tak bersuara. Lagi-lagi nyanyian hujan mendominasi.

“Allahuakbar…Allahuakbar…”

Suara dering ponsel Hani sedikit membuatnya terlonjak. Lantas ia menggeser screen ponsel kemudian mengucap Hamdalah tanpa menyuarakannya. Diambilnya air mineral dari dalam tasnya.

“Kau sedang apa?”

Hani hanya mengulas senyum. “Berbuka puasa.”

“Oh, begitu. Bus mu sudah datang.”

Hani mengangguk. Ia mengangkat tasnya, diposisikan ke atas kepalanya guna melindungi dari hujan.

“Aku duluan…Dann…” ia mengucap nama itu pada akhirnya.

***

Bulir mungil menempel di badan kaca. Jemari lentik milik Hani menyentuh kaca jendela yang berembun hingga meninggalkan bekas.

“Danny.”

Ia tulis kata itu dengan gerakan cepat lalu ia hapus.

Astaghfirullah.” Ucapnya pelan. Hatinya mencelos seketika, sepintas sosok jangkung Danny menelusup sarafnya.

Hani tersadar. Buru-buru ia bangkit dari duduknya lalu meminta supir untuk menghentikan bus.

***

Guiletta-Verona, Italia

Langit mulai gelap. Sepasang kaki jenjangnya menapaki jalanan basah, melompat kala genangan air ia temukan. Danny masih setia dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaket parkanya. Sesekali bersenandung kecil tanpa henti mengikuti gerak gadis yang berjalan 100 meter di depannya.

Gadis itu, dengan tubuh rampingnya berjalan riang hingga sampai di depan apartemen. Ketika gadis itu menaiki tangga apartemen, Danny memilih untuk duduk di bangku besi panjang di depan gedung.

Selamat berbuka puasa, Anhani…

Send.

Usai mengetik beberapa kata tadi, Danny menekan tanda kirim di ponselnya. Ia mendongak, menatap jendela kaca yang sama sekali tak menampilkan gadis tadi. Gadis yang sejak awal menarik perhatiannya dengan kerudung yang menjuntai hingga batas perutnya.

“Wajahnya dingin, namun menenangkan.”

Barusan, Danny melisankan isi hatinya. Mengumbar seutas rasa tanpa diketahui pemiliknya. Biarlah, hanya Danny sendiri yang tahu.

***

Deretan lampu belajar bertengger kokoh. Masing-masing orang sibuk mengilhami kalimat-kalimat yang terukir dalam buku tebal. Hani yang paling hening, ia tak membiarkan suara dari bibirnya keluar barang sedetikpun kecuali goresan-goresan yang memenuhi buku catatannya.

“Kau puasa lagi hari ini?”

Hani nyaris terlonjak.  Kalau ia tak sigap, mungkin akan menimbulkan keributan.

“Itu sudah kewajibanku selama sebulan kedepan.” Sahutnya ringan. Tak berniat untuk sekedar menoleh ke arah pemilik suara.

“Kau akan kemana sore ini?”

“Rumah Tahfidz milik temanku dan suaminya.”

“Ada apa disana?”

“Aku akan menunjukkannya padamu kalau kau mau.” Hani menutup bukunya. Ia bangkit dari duduknya, berjalan melewati pria tadi.

***

“Papa dan mama sedang di Amsterdam, Han.”

“Semoga selamat sampai kembali ke Jakarta, Pa, Ma.”

“Kamu puasa?”

“Iya Pa.”

“Kamu gak merasa terbebani? Papa mama disini ngerasa ga enak, Han.”

“Pa, Ma, biarlah sekarang Hani menjalani apa yang sudah menjadi pilihan Hani.”

“Kalau kamu ga sanggup, kamu bisa keluar Nak.”

“Terima kasih Pa, Ma. Hani tutup telepon. Masih banyak tugas yang harus Hani kerjakan.”

Ia meletakkan ponselnya di atas nakas. Ditatapnya langit Verona yang lagi-lagi mendung. Hani baru ingat atas janjinya tadi siang pada Danny. Secepat kilat ia meraih kembali ponselnya. Kemudian mengetik beberapa kata.

“Aku akan berangkat ke Rumah Tahfidz milik temanku. Aku tunggu di depan gedung apartemen”.

Ia menekan tombol send di screen ponselnya.

***

“Mama dan Papa masih bersikeras, kak.”

Hani menyandarkan kepalanya di sofa ruang duduk milik Evelyn, temannya. Teman yang ia sebut-sebut tadi siang di depan Danny. Gurat lelah muncul di dahinya. Fokusnya berpendar mengelilingi seluruh sudut ruangan sebelum akhirnya ia menatap Evelyn dengan wajah memelas.

“Untuk menuju jalan-Nya, hidupmu tak selalu lurus-lurus saja. Pastikan Papa dan Mama melihatmu dalam keadaan baik-baik saja disini, meski muslim minoritas.” Imbuh Evelyn. Diusapnya puncak kepala Hani yang selalu terbalut kerudung. 2 detik setelahnya, Evelyn mengerling.

“Ada apa?”

“Danny. Pria itu…”

“Dia teman kuliahku di Verona University.” Sela Evelyn cepat.

“Tapi kalian cocok. Sama sepertiku dan Elgan.”

“Bagaimana keadaan adik-adik disini,kak?”

“Kau menyukai Danny?”

Hani bungkam.

“Benar ‘kan?” sela Evelyn.

“Dia non muslim. Jadi, tidak mungkin─”

“Apa yang tidak mungkin di dunia ini? Allah punya kekuatan untuk menggerakkan hati siapapun. Tak terkecuali kepada Danny.”

“Kak… jangan bahas tentang dia. Aku mengajak dia kesini karena dia penasaran dan selalu mengikutiku setiap sore.”

“Lihat, Hani. Disana, Danny bermain dengan adik-adik. Ada keinginan yang sebenarnya ingin dia lakukan. Tapi, dia bingung untuk maju atau mundur.”

***

Costo Cavour-Tepi sungai Adige, Casteelvecchio.

Hani memegangi pembatas jembatan. Langit sore berwarna keemasan mendominasi, burung-burung berterbangan. Ia mulai suka kombinasi itu, meski biasanya mendung membuatnya tenang.

“Aku akan meminta restu pada orang tuamu.”

Danny muncul dari belakang. Ia berdiri sejajar dengan Hani. Hani menoleh, hendak menyuapkan protes namun Danny buru-buru menyela.

“Kita sudah satu akidah.”

“Bagaimana─”

“Terima kasih karena sudah membawaku ke rumah Evelyn dan Elgan. Aku sering kesana dan ingin menuju jalan-Nya.”

“Danny… tapi orangtuaku juga─”

Belum genap Hani merampungkan kalimatnya, ponselnya berdering. Ia merogoh tasnya kemudian meraih ponselnya.

“Halo, Ma.”

“Idul Fitri nanti kamu bisa pulang ‘kan sayang?”

“Sepertinya aku tetap disini bersama keluarga kecil Evelyn, Ma.”

“Mama dan Papa sudah memilih jalan terbaik, sayang.”

“Maksud Mama?”

“Kami sudah muslim, sayang. Kita bisa merayakan Idul Fitri bersama.”

Hani menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia meremas bagian depan kerudungnya. Matanya memanas, dan tanpa dikomando liquid bening itu tumpah. Ia kembali mengangkat ponselnya.

“Terima kasih,Ma,Pa.”

“Ada apa?” Danny ikut penasaran.

“Mereka sudah muslim.”

“Alhamdulillah.”

END

 

Penulis            : Enggar Tyas Untari

Editor             : Siti Arifahsyam

 

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles